Kamis, 30 September 2010

Kreativitas Anak Dapat Dilihat Dari Berbagai Indikator


Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun non-aptitude, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.

Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap anak memiliki bakat kreatif, dan ditinjau dari segi pendidikan bakat kreatif dapat dikembangkan dan perlu dipupuk sejak dari usia dini. Bila bakat kreatif anak tidak dipupuk maka bakat tersebut tidak akan berkembang secara optimal, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan. Oleh sebab itu diperlukan upaya pendidikan yang dapat mengembangkan kreativitas anak.

Hasil penelitian Samples (1997) menyimpulkan bahwa bila proses dan fungsi belahan otak kanan ditingkatkan, harga diri seseorang meningkat, berbagai keterampilan kinerja pun bertambah dan peserta didik memperlihatkan kecenderungan menjelajahi materi berbagai bidang dengan lebih mendalam dan lebih tekun. Hal senada juga ditegaskan oleh hasil penelitian Jung (1964) yang menyimpulkan bahwa ada kaitan kreativitas dengan fungsi dasar manusia, yaitu berfikir, merasa, menginderakan dan intuisi (basic function thinking, feeling, sensing and intuiting).  

Kreativitas pada anak di taman kanak-kanak dan sekolah dasar dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam membuat gambar yang disukainya maupun dalam bercerita atau dalam bermain peran. Namun salah satu kendala dalam mengembangkan kreativitas adalah sikap orang tua dan guru yang kurang memberi kesempatan perkembangan kreativitas secara optimal.  Hal ini disebabkan oleh pandangan yang sempit, dimana anak harus menurut apa yang dikatakan orang tua dan guru, atau dengan kata lain anak tidak boleh berfikir secara divergen atau berfikir berbeda dari orang lain (Jamaris, 2006).

Pembatasan mengekspresikan pikiran-pikiran yang berbeda pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kebebasan dan hak azazi anak khususnya anak taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang berada pada fase praoperasional dan operasional konkrit, karena pada fase ini anak belum mampu mengikuti cara pandang orang lain. Dengan demikian anak membutuhkan kesempatan untuk mengungkapkan cara pandangnya secara bebas, sehingga fantasi yang dipikirkan dapat diekspresikan secara bebas.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan kreativitas anak yang berada pada fase praoperasional dan operasional konkrit. Pendidikan yang dilakukan terhadap anak usia TK dan SD seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta bagaimana anak belajar. Sehingga pendidikan tidak berarti sebagai program ”pemaksaan” terhadap anak untuk melakukan sesuatu atau untuk memiliki suatu kemampuan sesuai keinginan orang dewasa tanpa mempertimbangkan kondisi anak.
Selain itu menurut Munandar (2004) dalam upaya membantu anak mewujudkan kreativitas mereka, anak perlu dilatih dalam keterampilan tertentu sesuai dengan minat pribadinya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat mereka. Tugas pendidiklah atau orang tua untuk menciptakan iklim yang merangsang pemikiran dan keterampilan kreatif anak serta menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan.
Namun itu saja tidaklah cukup. Disamping perhatian, dorongan dan pelatihan dari lingkungan, perlu ada motivasi intrinsik pada anak. Minat anak untuk melakukan sesuatu harus tumbuh dari dalam dirinya sendiri, atas keinginannya sendiri.
Untuk dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran, berikut ini penulis akan menguraikan  ciri-ciri kreativitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Munandar (1999). Adapun cirri-ciri atau indicator tersebut adalah sebagai berikut:
A.    Ciri-ciri Kemampuan Berpikir Kreatif (Aptitude)
1)      Keterampilan berpikir lancar yaitu mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

Perilaku anak:
a)      Mengajukan banyak pertanyaan.
b)      Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan.
c)      Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah.
d)     Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya.
e)      Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak lain.
f)       Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu objek atau situasi.

2)      Keterampilan berpikir luwes (fleksibel) yaitu menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda, dan mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

Perilaku anak:
a)      Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek.
b)      Memberikan macam-macam penafsiran (interpretasi) terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah.
c)      Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda.
d)     Memberi pertimbangan terhadap situasi, yang berbeda dari yang diberikan orang lain.
e)      Dalam membahas/mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai posisi yang berbeda atau bertentangan dari mayoritas kelompok.
f)       Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang berbeda-beda untuk menyelesaikannya.
g)      Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang berbeda-beda.
h)      Mampu mengubah arah berpikir spontan.

3)      Keterampilan berpikir orisinal yaitu mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, dan mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

Perilaku anak:
a)      Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh  orang lain.
b)      Mempertanyakan cara-cara lama dan berusaha memikirkan cara-cara baru.
c)      Memilih a-simetri dalam menggambar atau membuat disain.
d)     Memiliki cara berpikir yang lain dari yang lain.
e)      Mencari pendekatan yang baru dari yang stereotip.
f)       Setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan penyelesaian yang baru.
g)      Lebih senang mensintesis daripada menganalisa situasi.

4)      Keterampilan memperinci (mengelaborasi) yaitu mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk dan menambahkan atau memperinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Perilaku anak:
a)      Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecah masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci.
b)      Mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain.
c)      Mencoba atau menguji detil-detil untuk melihat arah yang akan ditempuh.
d)     Mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana.
e)      Menambahkan garis-garis, warna-warna, dan detil-detil (bagian-bagian) terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.

5)      Keterampilan menilai (mengevaluasi) yaitu menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan bijaksana, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang terbuka, dan tidak  hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.

Perilaku anak:
a)      Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri.
b)      Menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal.
c)      Menganalisis masalah atau penyelesaian secara kritis dengan selalu menanyakan “Mengapa?”.
d)     Mempunyai alasan (rasional) yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai suatu keputusan.
e)      Merancang suatu rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus.
f)       Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan-gagasan tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis.
g)      Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya.

B.     Ciri-ciri Afektif (Non-Aptitude)
1)      Rasa ingin tahu yaitu selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak; mengajukan banyak pertanyaan, selalu memperhatikan orang, obyek, dan situasi, dan peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui/meneliti.

Perilaku anak:
a)      Mempertanyakan segala sesuatu.
b)      Senang menjajaki buku-buku, peta-peta,gambar-gambar, dan sebagainya untuk mencari gagasan-gagasan baru.
c)      Tidak membutuhkan dorongan untuk menjajaki atau mencoba sesuatu yang belum dikenal.
d)     Menggunakan semua panca indranya untuk mengenal.
e)      Tidak takut menjajaki bidang-bidang baru.
f)       Ingin mengamati perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian
g)      Ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik.

2)      Bersifat imajinatif yaitu mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum pernah terjadi dan menggunakan khayalan, tetapi mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan.

Perilaku anak:
a)      Memikirkan/membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi.
b)      Memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain.
c)      Meramalkan apa yang akan dikatakan atau dilakukan orang lain.
d)     Mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum terjadi.
e)      Melihat hal-hal baru dalam suatu gambar yang tidak dilihat orang lain.
f)       Membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi atau tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.

3)      Merasa tertantang oleh kemajemukan yaitu terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi-situasi yang rumit, dan lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit.

Perilaku anak:
a)      Menggunakan gagasan atau masalah yang rumit.
b)      Melibatkan diri dalam tugas-tugas yang majemuk.
c)      Tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan keadaannya.
d)     Mencari penyelesaian tanpa bantuan orang lain.
e)      Tidak cenderung mencari jalan tergampang.
f)       Berusaha terus-menerus agar berhasil.
g)      Mencari jawaban-jawaban yang lebih sulit/rumit daripada menerima yang mudah.
h)      Senang menjajaki jalan yang lebih rumit.

4)      Sifat berani mengambil resiko yaitu berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar, tidak takut gagal atau mendapat kritik, dan tidak mejadi ragu-ragu karena ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional, atau yang kurang berstruktur.

Perilaku anak:
a)      Berani mempertahankan gagasan atau pendapatnya walaupun mendapat tantangan atau kritik.
b)      Bersedia mengakui kesalahan-kesalahannya.
c)      Berani menerima tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan gagal.
d)     Berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang tidak dikemukakan orang lain.
e)      Tidak mudah dipengaruhi orang lain.
f)       Melakukan hal-hal yang diyakini, meskipun tidak disetujui sebagian orang.
g)      Berani mencoba hal-hal baru.
h)      Berani mengakui kegagalan dan berusaha lagi.

5)      Sifat menghargai yaitu dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup, dan menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang berkembang.

Perilaku anak:
a)      Menghargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain.
b)      Menghargai diri sendiri dan prestasi.
c)      Menghargai makna orang lain.
d)     Menghargai keluarga, sekolah, dan teman-teman.
e)      Menghargai kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab.
f)       Tahu apa yang betul-betul penting dalam hidup.
g)      Menghargai kesempatan-kesempatan yang diberikan.
h)      Senang dengan penghargaan terhadap dirinya.

Dari uraian di atas mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi para guru dan calon guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar, agar dalam proses pembelajaran kreativitas anak dapat dikembangkan secara optimal.

Jumat, 24 September 2010

APAKAH UJIAN NASIONAL TIDAK KONTRADIKTIF DENGAN KTSP?


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) seharusnya dibuat sesuai dengan kreativitas guru, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada satuan pendidikan tertentu. Dalam penyusunan KTSP guru/pengembang dibolehkan memasukan unsur muatan lokal. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan ujian nasional (UN). Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan.
KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula.
Kontradiksi antara KTSP dan UN, menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik.
Dalam KTSP hanya memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sangat berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antar sekolah yang berada dalam satu desa, baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang sama di seluruh Indonesia.
Dalam menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangat sulit. Oleh sebab itu, perlu mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN yang sejalan dengan KTSP.
Selain itu, UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Contohnya, sekolah di Kepulauan Riau, Kalimantan, Papua, dan daerah lain pada umumnya tentu memiliki perbedaan signifikan dari segi mutu bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta dan sekitar Jawa barat. Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentunya memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah.
Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. "Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya.
Sudah menjadi rahasia umum, akhir-akhir ini pendidikan keguruan di negeri ini seakan akan tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien.
Akhirnya apa yang terjadi? Sekolah hanya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.
Walaupun demikian, mulai tahun pelajaran 2007/2008 pemerintah melaksanakan Ujian Akhir Nasional (UAN) pada tingkat sekolah dasar yang disebut dengan istilah Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2007.
Dalam Permen No. 39/2007 disebutkan bahwa ujian akhir sekolah berstandar nasional adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madarsah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa (SD/MI/SDLB).

Tujuan dilaksanakannya UASBN ini adalah untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 Permen 39/2007. Kemudian dalam pasal 3 disebutkan lagi bahwa hasil UASBN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
  1. pemetaan mutu satuan pendidikan;
  2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
  3. penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
  4. dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Kalau kita perhatikan tujuan dari pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional ini memang sangat baik dan realistis. Tapi sebaliknya disana tergambar adanya kontradiktif dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagaimana kita ketahui bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dibuat sesuai dengan kreativitas guru, dan dikembangkan di tingkat sekolah/satuan pendidikan, serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Prinsip UN yang sentralistik, tentu akan  menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
Karena yang terjadi di lapangan adalah Ujian Nasional (UN) sering dijadikan sebagai taruhan besar oleh para guru dan lembaga pendidikan karena hasil ujian tersebut digunakan untuk menjadi penentu utama dalam menilai siswa, dan bahkan menjadi penentu utama untuk menetapkan apakah seorang siswa lulus atau tidak. Selain itu hasil ujian nasional tersebut dianggap sebagai pencitraan sebuah sekolah. Yang menjadi persoalan sekarang adalah seberapa pentingkah ujian nasional tersebut dilaksanakan ditingkat Sekolah Dasar? Apakah sebuah tes standar seperti UN kita bisa meningkatkan kualitas siswa dan kualitas pendidikan seperti yang selama ini digembar-gemborkan?
Kita setuju bahwa kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan. Tapi peningkatan kualitas tidak harus dilakukan dengan menerapkan sistem UN. Seperti dijelaskan di atas, berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005, dan Permen Diknas No. 39/2007 UN (UASBN) untuk siswa SD akan diberlakukan mulai tahun 2008. Sistem UN dengan hanya mengujikan tiga mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA) tidak bisa dijadikan sebagai ukuran bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Karena penilaian moralitas anak tidak diperhatikan. Padahal tujuan pendidikan di Indonesia bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Jadi secara psikologis sistem UN seperti itu tidak tepat untuk mengukur kelulusan siswa, lebih-lebih bagi siswa SD.
Menurut penulis kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional merupakan kebijakan yang perlu dikaji lebih jauh, karena:                                                          
Pertama, Ujian Nasional menimbulkan ketidakadilan bagi siswa. Siswa yang paling dirugikan adalah siswa yang bersekolah di sekolah yang berkualitas buruk, tidak memiliki guru yang layak mengajar, tidak memiliki fasilitas yang memadai baik buku pelajaran, perpustakan, maupun laboratorium. Padahal pemerintah sendiri mengakui bahwa sebagian besar sekolah kita masih berkualitas buruk. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa masih banyak sekolah di negara kita ini yang berkualitas buruk (minimnya sarana dan prasarana) Contohnya beberapa sekolah yang terletak di pulau-pulau terpencil Kepulauan Riau dan daerah-daerah pedalaman lainnya. Dengan situasi dan kondisi yang demikian apakah pantas disamakan dengan sekolah yang berada di kota-kota, apalagi kota-kota besar seperti di pulau Jawa. Jadi disini jelas bahwa UN tidak adil untuk para siswa dan guru di daerah terpencil (pedalaman).
Kedua, berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Ujian Nasional menyebabkan sekolah mengerahkan hampir semua sumber dayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN, bahkan siswa sekolah berstandar nasional pun harus ikut bimbingan belajar agar bisa lulus. Bahkan Ujian Nasional mendorong sekolah untuk menyusun kegiatan belajar mengajarnya menjadi sekedar untuk dapat lulus UN dan bukan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya apa yang tidak diujikan akan dinomor duakan. Guru-guru akan mengubah strategi mengajarnya agar dapat memenuhi tujuan kelulusan UN. Hal ini menyebabkan kualitas pengajaran mereka menjadi buruk karena mereka akhirnya hanya akan mengajar demi tercapainya ujuan UN tersebut. Sebagai contoh pada pengajaran bahasa (Indonesia ataupun Inggris) di kelas akhir SMP dan SMA tidak lagi dirancang agar siswa menguasai ketrampilan dalam berbicara, mendengar, membaca dan menulis, tapi diarahkan agar siswa dapat menjawab soal-soal dalam UN yang sama sekali tiak ada hubungannya dengan kebutuhan penguasaan bahasa itu sendiri. Pendidikan telah direduksi menjadi sekedar bimbingan tes agar dapat lulus UN.
Ketiga, Ujian Nasional akan menyebabkan meningkatnya drop-out. Sebagian besar siswa yang tidak lulus UN enggan kembali ke sekolah meneruskan pendidikannya. Jika UN SD ini juga akan menjadi penentu kelulusan maka bisa dipastikan akan banyak siswa yang tidak lulus tidak akan kembali ke bangku sekolah. Ini jelas akan mempengaruhi target pemerintah yang akan menuntaskan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan selama ini. Sebab dalam PP No. 19/2005 pasal 68 poin C disebutkan “Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan”. Dan pada pasal 72 poin C dipertegas lagi “Peserta didik dinyatakan lulus dari suatu pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah lulus ujian nasional”. Dan dalam pasal 3 Permen Diknas No. 39/2007 nyata disebutkan bahwa hasil UASBN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Keempat, Ujian Nasional memberikan gambaran kualitas pendidikan yang salah kepada publik. Masyarakat berhak tahu bagaimana kualitas sekolahnya. Hasil UN bukanlah representasi dari kualitas sekolah. Masyarakat akhirnya akan menilai kualitas sekolah hanya dari nilai UN yang diperoleh siswa sekolah tersebut. Ini jelas menyesatkan. Walaupun tes yang diberikan dalam UN hanyalah memotret sebagian kecil dari proses pendidikan yang begitu luas dan beragam, namun penilaian dan patokan yang diberikan masyarakat tetap pada hasil UN.
Dari beberapa pandangan yang dikemukakan di atas sebaiknya pemerintah mengkaji kembali Ujian Nasional untuk Sekolah Dasar karena UN mengabaikan unsur penilaian berupa proses. Dan menurut pandangan penulis, jika diperhatikan dari sisi yuridis sebenarnya pelaksanaan Ujian Nasional SD tidak sejalan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Misalnya dalam pasal 58 ayat (1) menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Tapi dalam kenyataannya Ujian Nasional telah merampas hak guru dalam melakukan penilaian di akhir sebuah jenjang pendidikan. Ujian Nasional telah mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses yang sebenarnya merupakan tugas pendidik/guru.         

Disamping itu, pendidikan jenjang SD hingga SMP merupakan satu paket Wajib Belajar Sembilan Tahun sehingga seharusnya tidak diperlukan istilah lulus ataupun tidak lulus di Sekolah Dasar. UAS/UN SD sebenarnya tidak perlu digelar. Ini karena penyelenggaraan UN SD justru bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur tentang wajib belajar sembilan tahun. Kalau Wajib Belajar Sembilan tahun itu SD-SMP, dan keduanya itu pendidikan dasar. Mengapa atau untuk apa di tengah-tengahnya harus ada ujian akhir sekolah yang berstandar nasional.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi apabila hasil UN SD digunakan sebagai alat seleksi untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pasti akan menuai masalah. Sebagaimana dalam PP No. 19 tahun 2005 pasal 68 poin b disebutkan   “Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya”. Hal ini senada dengan pasal 3 point b Permen Diknas No. 39/2007.
Dan apabila UASBN SD ini dijadikan alat pengukuran mutu, bukan sebagai alat seleksi, mengapa setiap siswa SD diwajibkan mengikutinya. Sebaiknyalah pada tahap awal UN tersebut diujicobakan pada sekolah-sekolah tertentu saja dengan menggunakan sistem sampling, setelah itu barulah pemerintah memikirkan bagaimana mempersiapkan anak-anak yang ada di pelosok untuk bisa mengikuti UN, termasuk membenahi manajemen sekolah, sarana dan prasarana serta kualitas guru. 
Selain kurang sejalan dengan UU Sisdiknas khususnya Wajar sembilan tahun, UN pada SD akan menyedot anggaran negara yang tidak sedikit. Karena jenjang pendidikan SD merupakan basis pendidikan dasar wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Akan lebih baik anggaran tersebut dialihkan untuk program yang lebih bermanfaat seperti renovasi gedung SD yang rusak dan bantuan buku pelajaran yang lebih banyak untuk SD.
Kita harus menyadari bahwa semua pihak sebaiknya juga mendukung usaha pemerintah untuk mendapatkan standardisasi pendidikan nasional. Hanya saja, perlu pembenahan-pembenahan terdahulu untuk sekolah-sekolah yang belum maju dan berada jauh dari sentra administrasi negara. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, adalah kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga.
Karena berbicara tentang mutu pendidikan, berbeda dengan pembicaraan mutu produk suatu industri. Dalam pendidikan dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. Mendorong semua sekolah di tanah air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak. Menurut hemat penulis, kebijakan UN perlu ditinjau ulang atau lebih disempurnakan lagi dalam pelaksanaannya, agar apa yang diinginkan dapat dicapai dengan baik dan tidak menimbulkan anak-anak bangsa ini sebagai korban kebijakan yang kurang tepat.
Demikianlah analisa penulis terhadap kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam implementasi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar. Penulis menyadari analisa ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan perbaikan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.


Rabu, 22 September 2010

Apakah Intensif Dapat Meningkatkan Kinerja dan Motivasi Kerja Guru?


Kinerja guru tidaklah berdiri sendiri, ia akan terkait pada keadaan dan kemampuan dirinya dan juga diwarnai oleh lingkungan di sekitarnya. Dua hal tersebut diidentifikasi sebagai faktor internal dan eksternal yang diduga berpengaruh terhadap kinerja guru. Indikator dari faktor internal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan, motivasi, kepuasan kerja, komitmen, etos kerja dan keluarga,  sementara indikator dari faktor eksternal dapat dilihat dari tingkat penghasilan, fasilitas, iklim kerja, hubungan antar manusia dan kepemimpinan.
            Menurut hemat penulis bahwa kompensasi finansial yang diterima pegawai di Indonesia termasuk guru di kota Tanjungpinang pada waktu lalu masih kurang mencukupi untuk bisa menutupi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara layak, sehingga masih ada guru yang mencari tambahan penghasilan di luar, setelah jam kerja dan bahkan ada kasus guru yang meninggalkan tugas pada jam kerja untuk mencari tambahan penghasilan. 
            Sejalan dengan pelaksanaan dan semangat otonomi daerah, Pemerintah kota Tanjungpinang membuat kebijakan memberikan intensif kepada para pegawai termasuk guru. Intensif yang diberikan bermaksud agar dapat menambah penghasilan para pegawai di samping pendapatan berupa gaji, di samping itu juga agar pegawai lebih bergairah, termotivasi dan dapat lebih terkonsentrasi dan komitmen pada tugas dan tanggungjawabnya. Dengan demikian kinerja mengajar guru akan lebih baik, yang tercermin pada kuantitas dan kualitas lulusannya.    
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberian intensif memberikan konstribusi yang positif terhadap kinerja dan motivasi mengajar guru di Tanjungpinang?
Untuk melihat ada atau tidaknya peningkatan kinerja dan motivasi tersebut perlu dilakukan peninjauan kembali atau dilakukan berbagai penelitian yang menyangkut tugas pokok, wewenang, dan tanggungjawab seorang guru.
            Dalam tulisan pendek ini penulis mencoba menguraikan tentang apa itu kompensasi, kinerja, dan motivasi kerja.
1. Pengertian Kompensasi
            Schuler (1987) menggunakan istilah ”total compensation” yang diartikan sebagai kegiatan dimana organisasi menilai konstribusi pekerja yang akan ditukarkan dengan imbalan moneter dan non moneter berdasarkan kemampuan organisasi dan ketentuan legal. Kompensasi menurut Alma (2003) adalah imbalan/balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawannya yang dapat dinilai dengan uang. Termasuk ke dalam kompensasi ini adalah upah, gaji, intensif, komisi dan sebagainya yang mengikat karyawan sehingga karyawan mau dan senang bekerja.
            Jadi dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah imbalan yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa atas konstribusi yang diberikannya kepada organisasi menurut jangka waktu tertentu.
            Selanjutnya Schuler (1987) mengemukakan beberapa bentuk kompensasi yang disediakan organisasi kepada pekerja diantaranya: penghargaan uang, fringer benefit, simbol status, penghargaan sosial, dan penghargaan terhadap tugas pribadi
            Kompensasi berfungsi sebagai faktor motivasi dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja pegawai. Kompensasi yang lebih baik akan menciptakan kepuasaan dan motivasi pegawai untuk bekerja lebih baik. Sebaliknya, untuk memperoleh kompensasi yang lebih baik, pegawai akan berusaha bekerja lebih baik.
            Menurut Alma (2003) tujuan yang tercakup dalam kompensasi antara lain ”Kompensasi harus dapat memenuhi kebutuhan minimal karyawan, untuk mengikat dan memotivasi karyawan, bersifat adil, tidak boleh statis, dan kompensasi harus bervariasi”. Sedangkan Handoko (1996) mengemukakan beberapa tujuan kompensasi yaitu: memperoleh pegawai yang berkualitas, mempertahankan karyawan yang ada, menjamin keadilan, menghargai perilaku yang diinginkan, mengendalikan biaya-biaya, dan untuk memenuhi peraturan legal.
            Sedangkan Menurut Sasrohadiwiryo (2003) kepuasan atas kompensasi yang diterima tenaga kerja dipengaruhi oleh: a) jumlah yang diterima dan jumlah yang diharapkan, b) perbandingan dengan apa yang diterima oleh tenaga kerja lain, c) pandangan yang keliru atas kompensasi yang diterima tenaga kerja lain, dan d) besarnya kompensasi intrinsik dan ekstrinsik yang diterima untuk pekerjaan yang diberikan kepadanya.

1. Pengertian Kinerja
    Istilah kinerja berasal dari kata performance (Sedarmayanti, 2001) yang berarti ”Prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk kerja/penampilan kerja”. Echols dan Shadily (1995) mengartikan ”Performance sebagai daya guna melaksanakan kewajiban atau tugas”. Mangkunegara (2002) mengartikan kinerja sebagai ”hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya”.
            Kinerja guru adalah sejauhmana kemampuan kerja atau hasil kerja yang diperlihatkan oleh guru dalam proses pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya dalam usaha memberikan pelayanan terbaik bagi tercapainya tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan.
            Berkaitan dengan tugas guru, maka kinerja guru dipengaruhi oleh berbagai variabel yang saling berhubungan baik yang berasal dari individu (internal) maupun luar individu (eksternal).
            Faktor internal diantaranya: pendidikan dan pengetahuan, motivasi dan kepuasan kerja, komitmen, dan etos kerja. Sedangkan faktor eksternal diantaranya: tingkat penghasilan, fasilitas, iklim kerja, hubungan antar manusia,dan kepemimpinan.

1. Pengertian Motivasi
            Siagian (2002) mendifinisiskan motivasi sebagai daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kostribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Dengan pengertian bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkuan.
            Sedarmayanti (2004) mendifinisikan motivasi sebagai ”Kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasaan ataupun mengurangi ketidakseimbangan.
            Motivasi sangat penting, merupakan dorongan dan daya penggerak yang mempengaruhi tingkah laku tertentu, serta usaha menumbuhkembangkan bagi kehidupan pribadi yang bersangkutan. Jika motivasi rendah maka sulit diharapkan produktifitas kerja yang tinggi. Dalam kehidupan keorganisasian motivasi individu menjadi penggerak bagi usaha untuk melaksanakan tugas dengan iklas dan bersemangat sehingga produktivitas kerja yang dihasilkan dapat maksimal, dengan demikian tujuan organisasi dapat diwujudkan. 
Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
            Bagi guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu peserta didiknya agar timbul kemauan dan keinginan untuk meningkatkan prestasi belajar sehingga tujuan pendidikan tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan dan ditetapkan sekolah.
            Sebuah motivasi erat kaitannya dengan tujuan, harapan atau cita-cita seseorang. Makin berharga sebuah tujuan makin kuat pula motivasi, jadi motivasi sangat bermakna bagi tindakan seseorang. Berdasarkan pemahaman ini, kegunaan atau fungsi dari motivasi dalam kehidupan seseorang sebagai pendorong agar melaksanakan sesuatu, menentukan arah perbuatan  sehingga dapat meningkatkan hasil kerja, mempercepat proses penyelesaian pekerjaan, dan sarana pengembangan prestasi kerja dan pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Arep, dkk (2003) manfaat motivasi adalah ”Menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan pegawai yang termotivasi dapat melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Artinya, pekerjaan diselesaikan dengan standar yang benar, dalam skala waktu yang telah ditentukan, dan melaksanakan dengan perasaan senang.
            Motivasi dapat membuat pegawai bekerja keras melaksanakan tugas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Motivasi yang tinggi yang disertai dengan kemampuan atau kedewasaan kerja yang tinggi, membuat atasan tidak banyak melakukan pembinaan dan pengawasan kepada yang bersangkutan.
            Pengamatan di lapangan sering dijumpai guru yang mengajar terlihat kurang atau tidak bergairah. Ironisnya tidak jarang guru seperti ini dibiarkan oleh kepala sekolah dan rekan guru lainnya. Sepintas bisa dianggap cara mengajar guru adalah wajar-wajar saja, seolah-olah tidak ada yang perlu dirisaukan. Apabila terhadap guru yang sebelumnya tidak pernah berperilaku demikian, maka ini dapat dipastikan guru tersebut sedang mengalami sesuatu.
            Salah satu faktor yang mungkin terjadi penyebab berubahnya perilaku guru antara lain adalah faktor kejenuhan. Kejenuhan bisa menghinggapi siapa saja, dan lumrah sepanjang masih dapat dikendalikan. Bila kejenuhan yang dihadapi guru sampai pada tingkat frustasi, maka bukan lagi lumrah, dan perlu penanganan segera. Bila tidak akan menimbulkan dampak  negatif pada guru itu sendiri, beserta didik, dan bagi lembaga pendidikan.
            Motivasi tenaga kerja dalam hal ini guru dapat ditentukan oleh perangsangnya. Perangsang tersebut akan menjadi mesin penggerak motivasi, sehingga menimbulkan pengaruh perilaku bagi yang bersangkutan. Sastrohadiwiryo (2003) berpendapatt ”Unsur-unsur penggerak motivasi antara lain kinerja, penghargaan, tantangan, tanggungjawab, pengembangan, keterlibatan, dan kesempatan”. Hal ini berarti mereka yang termotivasi menginginkan antara lain tantangan dan tanggungjawab yang lebih luas.
            Kompensasi sebagai kekuatan untuk memberikan motivasi selalu memiliki reputasi, dan memang sudah selayakya demikian. Salah satu melemahnya kinerja pegawai, banyaknya korupsi, dan kurang terpusatnya perhatian guru terhadap tugas karena harus mencari pendapatan adalah karena belum terpenuhinya kebutuhan secara layak untuk dirinya dan keluarga.
            Pegawai punya rasa takut kehilangan pekerjaan. Sumber uang dari bekerja merupakan perangsang kerja yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Uang merupakan kebutuhan yang paling fundamental dan paling kuat diantara naluri-naluri biologis lainnya.  Cara peningkatan motivasi antara lain ganjaran dan hadiah (reward and bonus) atau intensif dapat juga diberikan dalam bentuk penghargaan dengan pujian, piagam, fasilitas, kesempatan, promosi, dan sebagainya. Bila dipandang perlu mungkin dapat juga digunakan hukuman pedagogis (punishment, fena).   
            Guru yang bekerja penuh semangat dan mempunyai motivasi kerja yang tinggi berimplikasi pada pelaksanaan dan penyelesaian kerja secara baik yang mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan belajarnya. Segenap pikiran, ide, waktu, dan tenaga tercurahkan pada pelaksanaan pekerjaan. Hal ini akan dilakukan dengan rasa senang, bertanggungjawab dan penuh keikhlasan.
            Bagi seorang guru motivasi sangat penting, karena dengan motivasi diharapkan setiap guru mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Singkatnya antara motivasi dan kinerja guru mempunyai hubungan yang sangat erat.
            Motivasi mencakup beberapa aspek yang dapat meninimbulkan motif bagi seseorang untuk berbuat atau melakukan sesuatu pekerjaan secara bersungguh-sungguh. Dalam tulisan singkat ini akan mengkaji motivasi mengajar dengan mengadung aspek-aspek berikut:
  1. Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap/perlaku yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mengajar. Indikator guru yang memiliki tanggungjawab adalah melaksanakan tugas mengajarnya dengan baik, dan mengembangkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan pengajaran.
  1. Minat terhadap tugas
Guru yang mempunyai motivasi yang tinggi mempunyai komitmen dan daya tarik serta mencintai pekerjaannnya sebagai guru. Dengan demikian segala ide, gagasan, waktu dan tenaganya selalu terfokus pada tugasnya sehingga berhasil mentransfer ilmu pengetahuan, keterampilan serta membentuk perilaku positif peserta didik seperti yang diharapkan. Indikator guru yang mempunyai minat terhadap tugas adalah menguasai keterampilan mengajar dan terampil dalam menerapkannya, tekun dalam melaksanakan tugasnya, dan berusaha meningkatkan kualitas pekerjaannya yang berarti segala ide, gagasan, waktu, dan tenaga digunakan secara kontiniu menganalisis kelebihan dan kelemahan materi, pendekatan, metode, teknik, strategi, dan media pembelajaran yang  digunakan dalam membelajarkan peserta didik.
  1. Penghargaan terhadap tugas
Guru yang mempunyai motivasi yang tinggi dalam mengajar akan selalu memberikan penghargaan terhadap tugasnya. Indikator guru yang memberikan penghargaan terhadap tugasnya adalah bangga terhadap hasil pekerjaannya, dan optimis terhadap hasil terbaik dari pekerjaannnya.   
Dari uraian di atas maka selayaknyalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambil keputusan merenungkan dan mengaji ulang setiap kebijakan yang telah ditelurkan. Apakah pemberian insentif selama ini berdampak positif pada peningkatan kinerja dan motivasi kerja aparatnya? Atau sebaliknya? Dan mulai saat ini pemangku kebijakan (dinas dikpora) sudah harus mengevaluasi semua guru dan pegawai di bawah binaannya apakah sudah menunjukkan kinerja yang baik atau belum. Reward harus diberikan dan ditingkatkan bagi mereka yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan sebaliknya harus berani memberikan punishment pada pegawai atau guru yang tidak bekerja dengan baik, agar pendidikan di kota Tanjungpinang lebih baik dimasa yang akan datang. Selamat merenungkan...............











Senin, 20 September 2010

Kreativitas Anak Perlu Dikembangkan Dalam Pembelajaran


Tantangan pembangunan bangsa di masa mendatang khususnya dibidang pendidikan adalah menciptakan manusia masa depan yang tangguh, kuat, sehat dan memiliki sikap mental keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberikan kontribusi bermakna pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian, serta kesejahteraan bangsa pada umumnya.
Untuk menjawab tantangan dan harapan tersebut hanya dapat diwujudkan melalui suatu pendidikan yang baik dan mendasar, sebuah pendidikan yang mampu meletakkan dasar-dasar pemberdayaan manusia agar memiliki kesadaran akan potensi dirinya dan mengembangkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri, masyarakatnya dan bagi umat manusia dalam membentuk masyarakat madani. Maka dari itu pendidikan diperlukan oleh siapapun untuk tetap menguasai nasib sendiri, bertahan hidup dan meningkatkan kehidupannya.
Ungkapan tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal l, yang menyebutkan bahwa:                                     
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Perlu kita sadari bahwa anak merupakan harapan bagi masa depan suatu bangsa. Anak-anak adalah generasi penerus keluarga dan sekaligus penerus bangsa. Mereka yang kelak akan membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, yang tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada anak-anak kita sekarang ini.
Masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas (Golden Age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak dengan memberikan perhatian terhadap kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan yang diberikan kepada anak sejak usia dini merupakan investasi yang sangat besar bagi keluarga dan juga bangsa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Prof. Benyamin S. Bloom, Dr. Keith Osborn dan Dr. Burton L. White (1965) dari Universitas Chicago Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya. Data empirik menggambarkan bahwa sebanyak 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada masa anak berusia 4 tahun, dan peningkatan berikutnya sekitar 30% terjadi pada masa anak berusia 8 tahun, kemudian sisanya sekitar 20% terjadi pada masa dua puluh tahunan. Kajian Bloom tersebut menunjukkan bahwa rangsangan belajar pada masa usia dini memberikan pengalaman yang sangat berharga untuk perkembangan pada masa berikutnya.
Salah satu aspek yang perlu dikembangkan adalah kreativitas. Karena kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Mengapa kreativitas begitu bermakna dalam hidup dan perlu dipupuk sejak dini dalam diri anak? Munandar (2004: 31) mengemukakan: Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan dirinya, dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia. Kedua,  kreativitas atau berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan lingkungan tapi juga memberikan kepuasan kepada individu. Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.
Selain itu, kreativitas sangat penting dalam kehidupan, karena merupakan suatu kemampuan yang sangat berarti dalam proses kehidupan manusia. Dengan kreativitas manusia dapat melahirkan pencipta besar yang mewarnai sejarah kehidupan manusia dengan karyanya, seperti Bill Gate siraja Microsoft, JK. Rolling dengan novel Harry Poternya, Ary Ginanjar dengan ESQ (Emotional & Spiritual Quotient), Pramudya Ananta Toer dengan karya-karyanya yang tak lekang oleh perjalanan waktu. Apa yang mereka ciptakan adalah karya orisinil yang luar biasa dan bermakna, sehingga orang terkesan dan memburu karya-karyanya.
Menurut Soegeng Santoso (2002 : 27) pada hakekatnya sejak lahir anak mempunyai kreativitas, namun kualitasnya tidak sama, sebab tergantung bakat, gizi selama dalam kandungan dan pengaruh lingkungan terhadap ibu yang sedang hamil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tiap anak mempunyai kreativitas sendiri, oleh sebab itu pendidik wajib memperhatikan setiap anak dan tidak boleh menyamaratakannya.
Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005: 164) bahwa proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.
Dalam proses pembelajaran di TK dan SD, kreativitas anak dapat dirangsang dan dieksplorasi melalui kegiatan bermain sambil belajar sebab bermain merupakan sifat alami anak. Diungkapkan oleh Munandar (2004: 94) bahwa adanya hubungan yang erat antara sikap bermain dan kreativitas. Namun, dijelaskan oleh Froebel (Patmonodewo, 2003: 7), bermain tanpa bimbingan dan arahan serta perencanaan lingkungan di mana anak belajar akan membawa anak pada cara belajar yang salah atau proses belajar tidak akan terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, pendidik bertanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan anak agar menjadi kreatif.
Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana sikap dan perilaku guru dan orang tua yang memudahkan dan menunjang suatu lingkungan pendidikan yang memupuk kreativitas anak? Sebab menurut penelitian Getzelt dan Jackson (1962), guru lebih menyukai siswa dengan kecerdasan tinggi dari pada siswa yang kreatif jika guru ditanya siswa  manakah yang lebih mereka sukai di dalam kelas. Begitu juga dengan studi Bachtold dan Utami Munandar (1977) menunjukkan bahwa persepsi guru mengenai ”murid yang ideal” hanya sedikit persamaannya dengan perilaku yang ditemukan pada pribadi-pribadi yang kreatif.
Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berfikir kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar. Dalam suasana yang demokratis dan menyenangkan, ketika belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang, karena guru menaruh perhatian dan kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berfikir dan berani mengemukakan gagasan baru dan ketika anak diberi kesempatan bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, dalam suasana inilah kemampuan kreatif dapat tumbuh dan subur.
Namun apa yang terjadi di lapangan, tidak jarang kita jumpai bahwa di sekolah-sekolah  dalam proses pembelajaran, perhatian terhadap potensi anak masih terbatas pada aspek berfikir konvergen sedangkan aspek berfikir divergen masih kurang mendapat perhatian. Anak didik lebih banyak menerima cekokan dalam arti instruksi bagaimana melakukan sesuatu di sekolah, di rumah, dan di dalam mengerjakan sesuatu  pekerjaan, sehingga kebanyakan dari anak kehilangan kesempatan untuk kreatif. Kemampuan kreatif seorang anak sering begitu ditekan oleh pendidikan dan pengalaman sehingga ia tidak dapat mengenali potensi sepenuhnya, apalagi mewujudkannya.
Seharusnya pendidikan dapat berperan lebih banyak untuk membantu anak dalam mengembangkan sikap, kemampuan, dan kreativitasnya, agar kelak dapat untuk membantu mereka menghadapi berbagai persoalan secara kreatif dan inovatif serta dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat serta bangsa dan negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Semiawan (Santoso, 33) jika kreativitas dapat dikembangkan dengan baik maka anak dikemudian hari setelah dewasa akan memiliki kemampuan, keterampilan, dan profesi yang baik bahkan luar biasa.
Dari uraian di atas memberikan gambaran bahwa pelayanan pendidikan bagi anak merupakan suatu hal yang sangat penting, sebagai upaya pengembangan kreativitas anak. Dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu proses pembelajaran yang dapat mendorong pengembangan kreativitas anak yang mendukung untuk mewujudkan kemampuan dasar anak secara wajar dan optimal. Dan untuk melakukan itu semua dibutuhkan guru yang profesional yang memiliki kompetensi pedagogik yang memadai.

Sekedar Hiburan