Selasa, 26 Oktober 2010

Pentingnya Menjaga Waktu


Rasulullah SAW telah mengajarkan ummatnya untuk senantiasa menghargai waktu. Sungguh banyak hadist Rasulullah SAW yang membicarakan tentang pentingnya menjaga waktu. Hadist-hadist yang berkenaan dengan kewajiban menjaga waktu bagi seorang Muslim antara lain: “Jagalah yang lima sebelum datang yang lima. Jaga hidupmu sebelum datang matimu, jaga sehatmu sebelum datang sakitmu, jaga waktu luangmu sebelum datang waktu sempitmu, jaga masa mudamu sebelum datang masa tuamu, jaga kayamu sebelum datang miskinmu”

Kalau semua orang Islam mau mengamalkan hadist ini, maka dunia akan berada dalam genggaman orang Islam. Namun alangkah sayangnya kebanyakan ummat Islam hari ini tidak mengamalkan hadist tersebut, sehingga ummat Islam terus jauh tertinggal dalam segala bidang dibandingkan orang-orang kafir. Hadist ini telah diamalkan secara baik oleh orang-orang non Muslim, seperti oleh bangsa Jepang, Korea, Cina, dan Eropa. Sementara kita lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi, café-café, di depan televisi dan sebagainya.

Orang-orang kafir dan kaum materialis memandang waktu sebagai kesempatan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Karena kata mereka “The time is money”. Dalam pandangan mereka, orang yang membuang-buang waktu adalah orang yang merugi, karena orang tersebut telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengumpulkan uang. Namun dalam pandangan Islam, waktu adalah kesempatan yang masih diberikan oleh Allah SWT yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bekal yang akan dibawa pulang ke kampung akhirat kelak. Jadi dalam pandangan Islam waktu harus dimanfaatkan untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya selama kita masih hidup di dunia, supaya dapat memetik hasil yang maksimal di kampung akhirat. Karena sesungguhnya dunia ini adalah ladang untuk beramal.

Dalam ajaran Islam, waktu bukan hanya digunakan untuk mencari uang. Uang hanyalah sebagai bahagian dari keperluan hidup kita. Allah tidak melarang hamba Nya untuk mencari (memenuhi) keperluan hidup tersebut. Namun jangan sampai gara-gara disibukkan dengan urusan memenuhi keperluan hidup, lalu kita mengorbankan tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita yang sebenarnya adalah beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan firmanNya: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembahku”.

Maksud ayat ini adalah tujuan Allah SWT menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepadaNya semata. Manusia sering tidak pandai membedakan antara tujuan hidup dengan keperluan hidup. Tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah Swt, sedangkan keperluan hidup adalah keperluan terhadap sesuatu benda atau aktivitas tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia sebagi makhluk hidup.

Begitu banyak pesan-pesan dari Rasulullah SAW kepada ummatnya, agar ummatnya selalu memanfaatkan waktu seoptimal mungkin, sehingga kita akan menggapai kebahagiaan dunia sekaligus kebahagiaan di akhirat. Islam adalah agama yang tidak menafikan persoalan dunia, tetapi juga sangat memperhatikan urusan akhirat. Cobalah kita simak hadist berikut ini. “Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok hari”

Diantara Firman Allah Swt dalam Al-quran mengenai waktu, yang paling banyak adalah tentang peringatan bagi manusia untuk beramal sebelum waktu kematian datang. Diantaranya adalah:
Q.S. Munafiqun, ayat: 63.
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh"
Q.S. Al-Qiyamah, ayat 26-30.
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (oleh Allah Swt) : "Siapakah yang dapat menyembuhkan?", dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan, dan bertaut betis dan betis kanan, kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau.”
Q.S Al-A`shr , ayat 1-4.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”

Kehidupan para sahabat Rasulullah SAW adalah contoh kehidupan terbaik yang pernah dipraktekkan manusia di muka bumi. Siang hari mereka ibarat seekor singa, malam hari ibarat seorang a`bid (ahli ibadah). Maksudnya apabila kita lihat mereka di siang hari, maka mereka adalah pekerja keras, baik sebagai pedagang, peternak, petani, dan sebagainya Namun di malam hari mereka adalah sebagai ahli ibadah. Mereka tidur hanya sedikit, sabagian besar malam mereka habiskan untuk bersimpuh di hadapan Allah SWT.

Rasulullah SAW sangat membenci orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan dunia di siang hari, dan tidur terlelap di malam hari. Rasulullah SAW mengibaratkan mereka: Siang hari ibarat keledai, malam hari ibarat bangkai. Maksudnya orang-orang yang dibenci Rasulullah SAW adalah orang-orang yang di siang hari disibukkan dengan urusan dunia, sehingga mereka lupa dengan kewajiban utama sebagai hamba yaitu beribadah kepada Allah Swt. Mereka membiarkan siang berlalu tanpa shalat dhuhur dan ashar. Di malam hari mereka juga terlelap di tempat tidur tak ubahnya seperti bangkai hingga matahari terbit diufuk timur. Mereka kembali membiarkan malam berlalu tanpa ibadah apapun kepada Allah Swt.

Suatu ketika Imam Ghazali Rahmatullah bertanya kepada beberapa muridnya. Salah satu pertanyaan Sang Imam adalah: “Hai murid-muridku, tahukah kalian apakah yang paling jauh”. Para murid serentak menjawab : “Bulan dan matahari ya tuan guru”. Imam Ghazali memberi komentar: “Benar bulan dan matahari adalah benda yang jauh, tetapi ketahuilah oleh kalian, sebenarnya yang paling jauh itu adalah masa lalu. Kalian tidak akan pernah dapat mengejar lagi masa lalu yang telah meninggalkan kalian. Karena itu, sebelum kalian menyesal, maka pergunakanlah waktu luang sebaik-baiknya”.

Demikianlah pandangan Islam tentang pentingnya menjaga waktu. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. Karena waktu tidak pernah menunggu kita, kalau kita tidak memanfaatkan waktu maka waktulah yang akan menggilas kita. Kata Saidina Ali Radhiallahu a`nhu: “Waktu adalah ibarat Pedang”. Artinya: Kalau kita tidak memanfaatkan waktu, maka waktu akan menebas kita.
Untuk itu marilah kita sama-sama menjaga dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, agar kita tidak menjadi orang yang merugi hidup di dunia ini.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Perkembangan Kognitif Anak (Piaget)


           Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Van den Daele dalam Hurlock bahwa “perkembangan berarti perubahan secara kualitatif”. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek.
            Berbagai perubahan dan perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup. Untuk mencapai tujuan ini maka realisasi diri atau yang biasanya disebut sebagai aktualisasi diri adalah sangat penting. Tujuan ini tidaklah statis, tujuan ini merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan yaitu untuk menjadi manusia seperti yang diinginkan baik secara fisik maupun psikologis.
            Mengingat proses perkembangan individu dimulai sejak masa konsepsi hingga kematian dan proses ini berjalan terus secara permanent, qualitative, progressive dan bersifat universal (Peterson, 1996), maka cakupan proses perkembangan individu ini menjadi sangat luas. Menurut Peterson ada empat teori utama yang berpengaruh besar terhadap pemahaman tentang perkembangan individu selama rentang kehidupannya, yaitu : teori psikoanalitik , teori perkembangan kognitif, teori belajar dan teori humanistik.
Diantara keempat teori utama tersebut, teori yang paling relevan antara proses perkembangan individu dengan pendidikan adalah teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget yang mengungkapkan lebih banyak perkembangan kognitif terutama anak, dan sangat berpengaruh dalam perkembangan pendidikan, sementara teori belajar social, behaviour modification dan model psikoanalitik banyak digunakan untuk psikotherapy (Peterson,1996)
Berdasarkan hal itulah maka dalam tulisan ini penulis akan mencoba mengkaji proses perkembangan kognitif anak ditinjau dari teori kognitif Piaget dan implikasinya terhadap pendidikan di Sekolah Dasar.

1. Pengertian Kognitif
Istilah kognitif berasal dari bahasa latin “cognoscre” yang berarti mengetahui (to know). Dalam Peterson(1996), cognition berarti a general term for thought or intellectual function. Cognition involves mental processes such as perseptioning,reasoning,language,judgement and imagination.
Istilah kognitif ini erat kaitannya dengan konsep intelektual atau intelegensia. Claparede dan Stern mendefinisikan intelegensia sebagai suatu adaptasi mental pada lingkungan baru (Piaget, 1981 dalam Suparno, 2001). Gardner (2003) mengemukakan bahwa intelegensia adalah potensi biopsikologis yang ditentukan oleh faktor genetik dan sifat-sifat psikologinya, mulai dari kekuatan kognitifnya sampai dengan kecenderungan kepribadiannya.

2.  Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
            Untuk memahami teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, ada beberapa konsep yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu :
a.             Inteligensi
Piaget mengartikan intelegensia secara lebih luas dan tidak mendefinisikannya secara ketat. Ia memberikan beberapa definisi yang umum yang lebih mengungkapkan orientasi biologis, seperti yang terdapat dalam Suparno (2001) :
{   Intelegensi adalah suatu contoh khusus adaptasi biologis …(Origin of Intelligence)
{   Intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensori diarahkan… (Piaget, 1981)
Secara progressif, dapat dikatakan bahwa :
{   Inteligensi membentuk keadaan ekuilibrium kearah mana semua adaptasi sifat-sifat sensorimotor dan kognitif dan juga interaksi-interaksi asimilasi dan akomodasi antara organisme dan lingkungan mengacu (Piaget,1981).
b.            Organisasi
Menunjuk pada tendensi semua spesies untuk mengadakan sistematisasi dan mengorganisasi proses-proses mereka dalam sustu system yang koheren, baik secara fisis maupun psikologis (Suparno: 2003). Contoh : bayi menggabungkan kemampuan melihat dan menjamah.
c.             Skema
Schema is Piaget’s term for cognitive unit that coordinates related actions and perceptions (Peterson, 1996). Skema adalah struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang. Skema bukanlah benda yang nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam system kesadaran seseorang. Skema tidak mempunyai bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. (Wadsworth,1989 dalam Suparno)
d.            Asimilasi
Assimilation is Piaget’term for the incorporation of new information into an existing mental category or schema(Peterson,1996). asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam fikirannya. Menurut Wadsworth dalam Suparno, asimilasi tidak menyebabkan perubahan skemata, tetapi memperkembangkan skemata.
e.             Akomodasi
Accomodation is Piaget’term for alteration of a thought process, or schema, to incorporate new information (Peterson,1996). Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema yang lama, hal ini terjadi karena dalam menghadapi rangsangan/pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia miliki, hal ini terjadi karena pengalaman baru itu tidak cocok dengan skema yang telah ada.
f.             Ekuilibrasi
Equilibration is the act of achieving equilibrium.
Equilibrium is a state of harmony or stability. In Piaget’s theory, relative (or temporary) equilibrium occurs whenever assimilation and accommodation are in balance with one another (Peterson,1996).
g.            Adaptasi
Adaptation in Piaget’s theory consist of an interplay between the processes of assimilation and accommodation (Peterson,1996).

Secara garis besar, Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap, yaitu : tahap sensorimotor, tahap praoperasi, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Tahap sensorimotor lebih ditandai dengan pemikiran anak berdasarkan tindakan inderawinya. Tahap praoperasional diwarnai dengan mulai digiunakannya symbol-simbol untuk menghadirkan suatu benda atau pemikiran, khususnya penggunaan bahasa. Tahap operasional konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis yang jelas. Tahap operasional formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif, serta induktif. Secara skematis, keempat tahap itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Skema Empat Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap
Umur
Ciri Pokok Perkembangan
Sensorimotor
0-2 tahun
* Berdasarkan tindakan
* Langkah demi langkah
Praoperasional
2-7 tahun
* Penggunaan symbol/bahasa tanda
* Konsep intuitif
Operasional Konkret
8-11 tahun
* Pakai aturan jelas/logis
* Reversibel dan kekekalan
Operasi Formal
11 tahun ke atas
* Hipotesis
* Abstrak
* Deduktif dan induktif
* Logis dan probabilitas
                                                                          Sumber : Suparno,2003     
Tahap-tahap di atas saling berkaitan. Urutan tahap-tahap tidak dapat ditukar atau dibalik, karena tahap sesudahnya mengandalkan terbentuknya tahap sebelumnya. Tetapi, tahun terbentuknya tahap tersebut dapat berubah sesuai dengan situasi seseorang. Misalnya seseorang dapat mulai tahap operasional formal pada usia 11 tahun, sedangkan ada juga orang yang baru memasukinya pada usia 15 tahun.
Perbedaan pada tiap tahap sangatlah besar karena ada perbedaan kualitas pemikiran yang lain. Meskipun demikian, unsur dari perkembangan sebelumnya tetapi tidak dibuang. Jadi, ada kesinambungan dari tahap ke tahap, walaupun ada juga perbedaan yang sangat mencolok.

3.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Anak
            Piaget menjelaskan bahwa ada berbagai macam hal yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Kematangan organis, system saraf, dan fisik seseorang mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Pengalaman dan berbagai macam latihan juga menunjang perkembangan pemikiran seorang anak, demikian pula halnya dengan interaksi social yang tidak kalah pentingnya dalam membantu pemahaman siswa terhadap suatu konsep atau bahan belajar.
            Piaget menekankan hal terpenting dalam perkembangan kognitif anak, yaitu bagaimana seorang anak dapat mengembangkan self-regulasinya untuk mencapai suatu ekuilibrasi dalam proses pemikirannya. Self-regulasi ini didapatkan melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus, berkesinambungan, terhadap lingkungan dan masalah yang dihadapi oleh seorang anak. Dalam proses itulah, anak senantiasa ditantang untuk selalu mengembangkan pemikirannya, dan dengan demikian, berkembang pulalah pengetahuannya.

4.  Aplikasi Teori Piaget dalam Pendidikan
            Teori perkembangan kognitif Piaget banyak mempengaruhi bidang pendidikan. Pemikiran Piaget mempengaruhi bagaimana para pendidik menyususn kurikulum, memilih metode pengajaran, dan juga memilih bahan bagi pendidikan anak, terurtama di sekolah.
            Sebagaimana diketahui, bahwa Piaget tidak mengarahkan penelitiannya untuk pendidikan dan pengajaran. Namun teorinya tentang bagaimana seorang anak memperoleh pengetahuan dan mengembangkan intelektualnya jelas berkaitan dan relevan dengan dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam menerapkannya perlu diperhatikan bahwa teori Piaget bukanlah menu jadi yang siap disantap atau tinggal digunakan. Teori Piaget ini menurut Suparno (2003) bukanlah suatu prosedur operasional yang tinggal dipakai. Guru haruslah pandai memilah dan memilih teori mana yang dapat digunakan. Teorinya  merupakan salah satu perspektif untuk melihat dan mengerti bagaimana seorang anak berkembang, mengapa ia mau belajar atau tidak mau belajar di sekolah, sehingga seorang pengajar dapat lebih membantu anak tersebut (Wadsworth,1989 dalam Suparno).
            Piaget membedakan dua pengertian tentang belajar, yaitu belajar dalam arti sempit dan belajar dalam arti luas (Ginsburg & Opper,1988). Belajar dalam arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar itu disebut belajar figurative, suatu bentuk belajar yang pasif. Contohnya, seorang anak menghafalkan perkalian bilangan. Belajar dalam arti luas adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum yang daopat digunakan pada berbagai situasi. Belajar ini disebut juga belajar operative. Contohnya anak mengerti tentang kekekalan massa suatu benda. Dalam hal ini anak mengetahui suatu struktur yang lebih luas yang tidak terbatas pada situasi tertentu, sehingga pengertian ini dapat digunakan dalam situasi yang lain.
            Menurut Wadsworth (Suparno,2003) mengingat dan menghafal tidak dianggap sebagai belajar yang sesungguhnya karena kegiatan tersebut tidak memasukkan proses asimilasi dan pemahaman. 
      Piaget berpendapat, bahwa pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh murid dalam berhadapan dengan lingkungan atau objek yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan murid dalam membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting dalam system piaget. Proses balajar harus membantu dan memungkinkan murid aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam hal ini, penekanan pembelajaran aktif terletak pada kebutuhan dan kemampuan siswa atau student centre bukan teacher centre.
      Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Ketiga pengetahuan itu dibentuk oleh tindakan murid terhadap pengalaman fisik dan sosial. Pengetahuan fisik dikonstruksi melalui tindakan murid kepada objek fisik secara langsung. Pengetahuan matematis-logis dibentuk dengan tindakan murid terhadap objek secara tidak langsung, yaitu dengan pemikiran operatif. Pengetahuan social dibentuk oleh pengalaman murid berinteraksi dengan lingkungan social dan orang banyak. Pengetahuan-pengetahuan itu tidak bisa ditransfer melalui kata atau symbol, melainkan hanya dapat diperoleh melalui tindakan dan pengalaman. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran IPA, IPS dan Matematika di SD perlu menggunakan media pembelajaran yang bervariasi yang mendorong siswa berinteraksi langsung dengan objek yang dipelajarinya.
      Menurut Piaget, seorang anak mempunyai cara berfikir yang berbeda secara kualitatif dengan ornag dewasa dalam melihat dan mempelajari realitas. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru seyogyanyalah memahami cara berfikir murid dalam memandang suatu objek yang dipelajarinya. Guru hendaknya menyediakan bahan belajar yang sesuai dengan taraf perkembangan  kognitif anak agar dapat memudahkan mereka menuntaskan materi pelajaran yang diberikan dan lebih berhasil dalam membentuk konstruksi pengetahuan dalam fikiran anak tersebut.
      Anak dapat mengkonstruksi pengetahuannya dengan baik, jika ia diberi peluang untuk dapat aktif berinteraksi dalam pembelajaran, baik dengan guru, media pengajaran, lingkungan soaial, dan sebagainya. Dengan belajar secara aktif, anak dapat mengolah bahan belajar, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, sehingga mampu memecahkan permasalahan, membuat kesimpulan dan bahkan merumuskan suatu rumusan menggunakan kata-kata sendiri. Peran guru sebagai fasilitator, dan motivator sangat penting bagi keberhasilan anak dalam mengkonstruksi pengetahuannya (Jacob,1981), dan guru bukanlah sebagai pentransfer ilmu pengetahuan semata..
      Dalam rangka menemukan dan membangun pengetahuannya, murid hendaknya dibeli keleluasaan untuk mengungkakpkan gagasannya, pemikirannya, dan rasa keingintahuannya akan objek belajar yang dipelajarinya, baik secara lisan dan tulisan. Guru hendaknya menjadi jembatan antara anak dengan pengetahuan untuk meminimalkan terjadinya miskonsepsi anak terhadap suatu konsep atau materi pelajaran.
      Piaget mengemukakan bahwa ada dua hal yang dapat menjadi motivasi intrinsik dalam diri seseorang, yaitu : adanya proses asimilasi dan adanya situasi konflik yang merangsang seseorang melakukan akomodasi. Tindakan asimilasi ini akan menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang dengan hal baru yang sedang dipelajari atau ditemukannya. Agar proses adaptasi dan asimilasi ini berjalan baik, diperlukan kegiatan pengulangan dalam suatu latihan atau praktik. Pengetahuan baru yang telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin bermakna bagi dirinya.
      Sementara itu, keadaan konflik diperlukan untuk merangsang sseseorang mengadakan akomodasi atau perubahan pengetahuan. Guru dalam hal ini memerlukan tanda-tanda konflik dan tahu bagaimana menciptakan konflik agar murid tertantang secara kognitif untuk mengubah dan mengembangkan pengetahuannya (Jacob,1981). Contohnya adalah peristiwa anomaly air, siswa dapat mengalami kebingungan dihadapkan dengan peristiwa yang bertentangan dengan apa yang telah dibangun di dalam fikirannya bahwa air mendidih pada suhu 1000 C.
      Piaget juga mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak juga tergantung pada interaksi unsure-unsur lain, seperti kematangan diri dan transmisis social. Oleh karena itu dalam lingkungan sekolah, perlu diperhatikan tingkat kematangan murid untuk menangkap pelajaran dan bagaimana mereka berinteraksi dalam lingkungan social mereka, seperti pertemanan. Tidak ada salahnya guru mendatangkan nara sumber lain yang merupakan ahli di bidangnya untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh siswa.
      Secara agak khusus, Piaget banyak berbicara tentang pengajaran matematika. Piaget menyarankan agar dalam pengajaran matematika untuk murid, terlebih sebelum tahap operasional formal, lebih ditekankan pada aktifitas, pengalaman, dan penggunaan metode aktif (Piaget,1972 dalam Suparno). Pengajaran matematika hendaknya dimulai dengan memperkenalkan konsep yang konkret menuju ke yang abstrak. Bagi orang dewasa, pengajaran matematika dengan metode ceramah, masih mungkin dilakukan, namun untuk anak-anak, sebaiknya pengajaran matematika tidak boleh mengabaikan aktivitas pengamatan dan interaksi langsung antara siswa dengan objek yang diamatinya.
      Terkadang dapat dijumpai ada anak yang belum paham benar tentang suatu konsep matematika namun dapat menggunakan rumusnya untuk menyelesaikan masalah, menurut Piaget, hal ini kurang baik, mengingat konsep  tersebut seharusnya tetap dikuasai anak secara menyeluruh dan anak memahami benar tentang konsep tersebut. Di sinilah peran latihan menjadi sangat penting.

Rabu, 20 Oktober 2010

Penanaman Konsep Bilangan Pada Anak Usia Dini


Sulitnya memahami konsep bilangan ditunjukkan seorang anak berusia 5 tahun memerlukan bimbingan dan pendampingan oleh orang tua (guru). Orang tua dan guru sangat berperan aktif dalam membantu siswa untuk dapat memahami konsep suatu bilangan. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua dan guru melalui kegiatan yang menyenangkan bagi anak, misalnya melalui berbagai permainan yang berkaitan dengan bilangan. Orang tua atau guru dapat menciptakan berbagai permainan yang dapat mendorong anak untuk belajar menguasai bilangan. Pembelajaran dapat dilakukan bukan hanya di dalam kelas, tapi juga dapat dilakukan di luar kelas, yang penting anak merasa senang dan tertarik dengan kegiatan yang dilaksanakannya yang di dalamnya memuat kemampuan untuk menguasai konsep bilangan. Selain itu orang tua atau guru harus mempertimbangkan tingkat kemampuan atau pemahaman anak terhadap materi yang diberikan. 

Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi.
Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya.
Pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi.
Berkenaan dengan teori kognitif Piaget mengemukakan tiga cara bagaimana anak sampai pada mengetahui sesuatu. Pertama adalah melalui interaksi sosial, kedua melalui pengetahuan fisik, dan ketiga yang disebut dengan logical mathematical. Kategori ini meliputi pengertian tentang angka, seriasi, klasifikasi, waktu, ruang, dan konservasi. Tipe pengetahuan ini menunjukkan adanya proses mental yang dikaitkan dengan hadirnya benda secara fisik.
Dalam pandangan Piaget, untuk mempelajari sesuatu termasuk konsep bilangan digunakan pendekatan konstruktif. Menurut pandangan konstruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan ini harus dibentuk oleh si belajar (siswa sendiri). Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. 
Dari pandangan ini dapat kita lihat bahwa teori Piaget kurang  melibatkan peran orang dewasa dalam proses pembelajaran, walaupun Piaget mencetuskan tentang social knowledge & social interaction. Piaget  memberikan banyak pengetahuan kepada anak, tetapi kurang kepada orang dewasa, sehingga orang dewasa kurang mengetahui bagaimana cara mengajar anak. Andaikata ada pendampingan untuk orang dewasa, anak akan lebih mudah memahami pembelajaran sehingga dapat berpindah ke tingkat kesulitan selanjutnya.  Piaget lebih  mementingkan anak menemukan sendiri sampai akhirnya dia mendapatkan sesuatu  dari hasil usahanya.  Orang dewasa hanya berperan sejauh memberikan kesempatan  pada anak untuk belajar. Selain itu teori Piaget kurang memberi perhatian pada interaksi sosial dan memori, tahapannya terlalu menekankan pada struktur, egosentris, berpikir logiko-matematis, dan konsep perkembangan tidak menjelaskan perbedaan yang besar pada kemampuan belajar anak, dalam kelompok,  kelas dan budaya.

Berbeda dengan  Piaget,  Vygotsky  dalam  pembelajaran  lebih  menekankan pada penggunaan pendekatan sosial budaya, dimana interaksi merupakan faktor penting dalam perkembangan. Yang mendasari teori Vygtsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.
Masih menurut Vygotsky “pikiran anak berkembang dalam konteks sosial budaya”. Fungsi mental seperti perkembangan memori, persepsi, proses berpikir merupakan hasil dari interaksi yang konstan dan langsung dengan orang dewasa serta teman-temannya. Vygotsky memperkenalkan istilah  Zone of Proximal Development (ZPD) yang dimiliki setiap anak. Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Dalam ZPD tersebut terlihat peranan orang dewasa. Anak memerlukan bimbingan orang dewasa sehingga potensinya bisa dioptimalkan. Orang dewasa memberikan dukungan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang akan meningkatkan pemahaman anak tentang apa   yang dipelajarinya. Untuk menafsirkan konsep zona perkembangan proksimal ini dengan menggunakan scaffolding interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai perancah, sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.
Scaffolding adalah bantuan dari orang yang lebih mampu, lebih mengetahui, dan lebih terampil dalam kisaran ZPD dengan tujuan membantu anak memperoleh hasil yang lebih tinggi. Dengan scaffolding tingkat kesulitan masalah yang dipelajari anak tidak berubah menjadi lebih mudah, tetapi akan menjadi tools of mind.
Menurut ZPDnya teori Vygotsky batas bawah adalah tingkat kesulitan sangat rendah sehingga anak  dapat mengerjakan sendiri, batas atas yaitu tingkat kesulitan pada tahap sedang, namun anak membutuhkan  orang dewasa untuk bisa mengerjakan dengan baik, sedangkan di atas batas atas anak tidak mampu mengerjakan tugas meskipun dibantu oleh orang dewasa. Dan anak yang belajar sesuai dengan tahapnya (sesuai dengan ZPD) akan  meningkatkan keberhasilan dalam pembelajaran.

Dari teori Piaget dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi bertahap, tetapi ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahap-tahap pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain, dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi dari yang paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan guru.
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Untuk mengimplementasikan bantuan kesulitan anak pada PAUD dapat  menerapkan beberapa prinsip-prinsip di bawah ini yang perlu diperhatikan oleh pendidik, yaitu:
1.      Rencanakan pengalaman yang nyata sehingga anak dapat terlibat  secara aktif.
2.      Observasi anak agar memahami kebutuhan dan minatnya.
3.      Berikan kesempatan anak belajar sesuai dengan tahapan mereka.
4.      Pendidik sebagai fasilitator, bukan sekedar pemberi pengetahuan.
Beberapa area pengetahuan  tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami anak agar anak bisa mempelajarinya.
5.      Berikan anak permasalahan dan konflik untuk memunculkan kemampuan berpikir, akomodasi dan adaptasi.
6.      Merancang aktivitas yang sesuai dengan area perkembangan anak (sesuai ZPD).
Orang dewasa atau anak yang lebih pintar harus menolong anak agar dapat menjembatani kesenjangan antara sesuatu yang telah dipelajari anak dan sesuatu yang potensial yang bisa dimunculkan.
7.      Membuat bermain menjadi kegiatan bermakna. Hubungkan matematika dengan pengalaman sehari-hari.
8.      Bertanyalah kepada anak hal-hal yang menarik.
9.      Doronglah anak  untuk dapat menjelaskan pikirannya melalui kata-kata, gambar, tulisan dan symbol.
10.  Dorong anak untuk berbicara, baik kepada guru maupun anak lain.
11.  Pelajaran berurutan mulai dari enactive (konkrit) sampai pada simbolik.
12.  Bangunlah pembelajaran matematika berdasarkan pembelajaran sebelumnya.
13.  Gunakan model dan benda-benda manipulatif yang berbeda untuk membantu anak mempelajari matematika.

Berikut ini adalah contoh cara mengajarkan berhitung pada anak menurut Piaget:
1. Count in sequence  :   

              

1         2          3           4         5          6

2. Count in sets of number

                       



Dengan bantuan gambar atau benda seperti di atas anak akan lebih tertarik dan akan lebih cepat memahami konsep bilangan. Dari kedua cara di atas, cara ke 2 lebih mudah dipahami anak, karena dua adalah 1 lebih 1. Tiga adalah 2 lebih 1. Empat  artinya 3 lebih 1. Lima artinya 4 lebih 1, dan seterusnya.
Jadi pada awalnya ajarkan anak menghitung secara berurutan, misalnya dari kiri ke kanan, atau dari atas ke bawah. Setelah itu baru diajarkan dengan cara acak, yang memiliki kesulitan lebih tinggi.  Anak perlu menguasai arah (direction) dengan baik.


           



Mana yang lebih banyak?  Anak akan cenderung menyebutkan bahwa benda yang lebih banyak adalah yang di bawah, karena anak lebih cenderung menyebutkan bahwa benda yang diletakkan berjauhan lebih banyak, sedangkan benda yang diletakkan berdekatan akan dikatakan lebih sedikit.



Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini




Tidak menutup kemungkinan akan ditemukan anak usia dini yang mengalami kesulitan  dalam berbahasa, tidak mampu memahami bahasa lisan, tidak mampu mengutarakan isi hati dengan kaimat, berbicara tidak jelas, gagap, dsbnya. Terkait masalah di atas berikut ini penulis mencoba membahas tentang perkembangan bahasa pada anak usia dini.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bahasa merupakan alat yang penting untuk berkomunikasi bagi setiap orang. Seorang anak akan mengembangkan kemampuan bergaul (social skill) dengan orang lain. Penguasaan  keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Tanpa bahasa  seseorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan orang lain. Anak dapat mengekspresikan pikirannya  menggunakan bahasa, sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. 

a.   Faktor yang mempengaruhi masalah bahasa pada anak
Menurut  Syamsu   Yusuf   (2004)   faktor-faktor  yang    mempengaruhi perkembangan bahasa anak adalah kesehatan, intelegensi, status sosial ekonomi, jenis kelamin, dan hubungan keluarga.
1)  Faktor   kesehatan.    Kesehatan   merupakan    faktor    yang    sangat  mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila anak pada usia dua tahun pertama sering mengalami sakit-sakitan maka anak tersebut cenderung akan mengalami keterlambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasa.
2) Intelegensi.  Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat intelegensinya, anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai intelegensi normal atau di atas normal.
3)  Status sosial ekonomi keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya dibanding dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik status ekonominya, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesemoatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya.
4)  Jenis kelamin. Pada tahun pertama tidak ada perbedaan vokalisasi antara wanita dan pria, tetapi pada usia dua tahun anak perempuan menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak laki-laki.
5)  Hubungan keluarga. Hubungan yang sehat antara orang tua dengan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya) memfasilitasi perkembangan bahasa anak, dan begitu sebalikya hubungan yang tidak sehat bisa menyebabkan perkembangan bahasa anak cenderung akan mengalami stagnasi atau kelainan, seperti gagap dalam berbicara, tidak jelas dalam mengungkapkan kata-kata, merasa takut untuk mengungkapkan pendapat, dan berkata yang kasar atau tidak sopan.
Bahasa anak dapat berkembang cepat, jika:
1.  Anak berada di dalam lingkungan yang positif dan bebas dari tekanan.
Lingkungan yang kaya bahasa akan menstimulasi perkembangan bahasa anak. Stimulasi tersebut akan optimal jika anak tidak  merasa tertekan. Anak yang tertekan dapat menghambat kemampuan bicaranya. Dapat ditemukan anak gagap yang disebabkan karena tekanan dari lingkungannya.
2. Menunjukkan sikap dan minat  yang tulus pada anak.
Anak usia dini emosinya masih kuat. Karena itu pendidik harus menunjukkan minat dan perhatian tinggi kepada anak. Orang dewasa perlu merespon anak dengan tulus.
3. Menyampaikan pesan verbal diikuti dengan pesan non verbal.
Dalam bercakap-cakap dengan anak, orang dewasa perlu menunjukkan ekspresi yang sesuai dengan ucapannya.  Perlu diikuti gerakan, mimik muka, dan intonasi yang sesuai.
Misalnya : orang dewasa  berkata,”saya senang” maka perlu dikatakan dengan ekspresi muka senang, sehingga anak mengetahui seperti apa kata senang itu sesungguhnya.
4.  Melibatkan anak dalam komunikasi.
Orang dewasa perlu melibatkan anak untuk ikut membangun komunikasi. Kita menghargai ide-idenya dan memberikan respon yang baik terhadap bahasa anak.
                                                                                                          
b. Tingkat perkembangan bahasa pada anak.
Sejak bayi, anak sudah memiliki kemampuan berbahasa. Sesederhana apapun, bayi sudah dapat menangkap bunyi-bunyian atau tanda yang diberikan oleh orang-orang terdekat di lingkungannya. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan bahasa anak akan terus berkembang  semakin kompleks. 
Menurut Vygosky, ada 3 (tiga) tahap perkembangan bahasa anak yang menentukan tingkat perkembangan  berfikir, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal  yaitu sebagai berikut:
Pertama, tahap Eksternal yaitu tahap berfikir dengan sumber berfikir anak berasal dari luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dari orang dewasa yang memberi pengarahan kepada anak .dengan cara tertentu. Misalnya orang dewasa bertanya kepada seorang anak, ” Apa yang sedang kamu lakukan?” Kemudian anak tersebut meniru pertanyaan, ”Apa?” Orang dewasa memberikan jawabannya, ”Melompat”.
Kedua, tahap egosentris yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya, misalnya ”saya melompat”, ”ini kaki”, ”ini tangan, ”ini mata”.
Ketiga,  tahap internal yaitu  suatu tahap ketika anak dapat menghayati proses berfikir, misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing. Pada tahap ini, anak memproses pikirannya dengan pikirannya sendiri, ”Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya sedang menggambar kaki sedang berjalan”
Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh system perkembangan anak, karena kemampuan bahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada system yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik, psikologis, emosional dan sosial. Seperti kemampuan motorik, kemampuan bayi untuk berbahasa terjadi secara bertahap, sesuai dengan perkembangan usianya.
Berikut ini diuraikan perkembangan kemampuan bicara dan bahasa yang normal pada anak usia 0-1 tahun (Towne, 1983)
Umur
(bulan)
Bahasa reseptif
(bahasa pasif)
Bahasa ekspresif
(bahasa aktif)
1
Kegiatan anak terhenti akibat suara
Vokalisasi yang masih sembarang, terutama huruf hidup
2
Tampak mendengar ucapan pembicara, dapat tersenyum pada pembicara
Tanda-tanda vokal yang menunjukkan perasaan senang, tersenyum
3
Melihat ke arah pembicara
Tersenyum sebagai jawaban terhadap pembicara
4
Memberi tanggapan yang berbeda terhadap suara bernada marah atau senang
Jawaban vokal terhadap rangsangan
5
Bereaksi terhadap panggilan namanya
Mulai meniru suara
6
Mulai mengenal kata-kata ”da-da”, ”papa”, ”mama”
Protes vokal, berteriak karena kegirangan
7
Bereaksi dengan kata-kata naik, kemari, da da
Mulai menggunakan suara mirip kata-kata kacau
8
Menghentikan kaktifitas apabila namanya dipanggil.
Menirukan rangkaian suara
9
Menghentikan kegiatan apabila dilarang
Menirukan rangkaian suara
10
Secara tepat menirukan variasi suara tinggi
Kata-kata pertama mulai muncul
11
Reaksi atas pertanyya sederhana dengan melihat atau menoleh
Kata-kata kacau mulai dapat dimengerti dengan baik
12
Reaksi dengan melakukan gerakan terhadap berbagai pertanyan verbal
Mengungkap kesadaran tentang objek yang telah akrab dan menyebut nama.

Adapun tahapan proses perkembangan bahasa anak usia lahir sampai dengan usia 6 tahun sebagai berikut:
No.
Usia
Proses Mendengar/ Memahami

Proses Berbicara

1.
Lahir-3 bulan
-    bayi terbangun ketika mendengar suara yang keras (biasanya reaksinya adalah menangis)
-    bayi mendengar orang lain berbicara dengan cara memperhatikan orang yang berbicara
-    bayi tersenyum ketika diajak bicara
-    bayi mengenali suara pengasuhnya dan menjadi berhenti menangis ketika diajak ngobrol
-    anak membuat suara yang menyenangkan
-    anak akan mengulangi suara yang sama secara berulang-ulang (seperti ocehan)
-    anak akan menanagis dengan cara berbeda untuk menunjukkan kebutuhannya yang berbeda-beda pula (misal : menangis dengan melengking tinggi jika kesakitan)

2.
4-6 bulan
-    anak sudah dapat merespon nada suara (lembut ataupun keras)
-    anak akan melihat sekeliling untuk mencari sumber bunyi (contoh : bunyi bel, telepon atau benda jatuh)
-    anak akan memperhatikan bunyi yang dihasilkan dari mainannya (misal : memukul-mukul mainan ke lantai)
-    anak akan berceloteh ketika sendirian
-    anak akan melakukan sesuatu (dengan bunyi atau gerakan tubuh) secara berulang ketika bermain
-    anak akan berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya

3.
7-12 bulan
-    anak menyukai permainan ‘ciluk-ba’
-    anak akan mendengarkan ketika diajak berbicara
-    anak mengenali kata-kata yang sering ia dengar, misal : susu, mama, dll.
-    anak akan berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya
-    anak akan melakukan imitasi untuk berbagai jenis bunyi/ suara
-    anak akan berceloteh dengan kata-kata sederhana : “ma-mam”, “da-da”’ tapi masih belum jelas pengucapannya

4.
12-24 bulan
-    anak sudah dapat memahami perintah dan pertanyaan sederhana, contoh : “mana bolanya?”, “ambil bonekanya”
-    anak akan menunjuk benda yang dimaksud ketika ditanyai
-    anak dapat menunjuk beberapa gambar dalam buku ketika ditanyai
-    anak telah dapat menggunakan berbagai bunyi huruf konsonan pada awal kata
-    anak sudah bisa menyusun dua kata. Contoh : mau minum, mama ma’em, dll.
-    Anak dapat bertanya dengan 2 kata sederhana, misal : “mana kucing?”, “itu apa?”

5.
24-36 bulan
-    Anak bisa memahami dua perintah sekaligus (contoh : “ambil bolanya dan ditaruh di kursi”)
-    Anak sudah dapat memperhatikan dan memahami berbagai sumber bunyi (misal : suara TV, pintu ditutup, dll)
-    Anak telah memahami perbedaan makna dari berbagai konsep, misal : “jalan-berhenti”, “di dalam-di luar”, “besar-kecil”, dll)

-    Anak bisa bertanya dan mengarahkan perhatian orang dewasa dengan mengatakan nama benda yang dimaksud.
-    Cara anak berbicara sudah dapat dipahami secara keseluruhan
-    Anak sudah dapat menghafal kata-kata untuk keseharian
-    Anak memahami tata bahasa secara sederhana, misal “aku mau naik sepeda”

6.
4-6 tahun

-    Anak sudah bisa menggunakan kata secara lebih rumit
    Misal : “Ibu, aku lebih suka baju yang berwarna merah. Yang hijau tidak bagus.”


   Menurut Syamsu Yusuf (2007: 119) perkembangan bahasa berkaitan erat dengan perkembangan berfikir anak. Perkembangan fikiran dimulai pada usia 1,6 – 2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam berbahasa anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai tugas pokok perkembangan bahasa. Adapun tugas tersebut adalah: (1) Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain; (2) Pengembangan perbendaharaan kata; (3) Penyusunan kata-kata menjadi kalimat; dan (4) Ucapan. Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain. 
     Sedangkan menurut Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih (2004) perkembangan bahasa terbagi atas dua periode besar yaitu periode Prelinguistik (0-1 tahun) dan Linguistik (1-5 tahun). Mulai periode linguistik inilah mulai saat anak mengucapkan kata kata yang pertama. Yang merupakan saat paling menakjubkan bagi orang tua.
Periode linguistik terbagi dalam tiga fase yaitu:
1.  Fase satu kata atau Holofrase
Pada fase ini anak mempergunakan satu kata untuk menyatakan pikiran yang kompleks, baik yang berupa keinginan, perasaan atau temuannya tanpa perbedaan yang jelas. Misalnya kata duduk, bagi anak dapat berarti “saya mau duduk”, atau kursi tempat duduk, dapat juga berarti “mama sedang duduk”. Orang tua baru dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan oleh anak tersebut, apabila kita tahu dalam konteks apa kata tersebut diucapkan, sambil mengamati mimik (raut muka) gerak serta bahasa tubuh lainnya. Pada umumnya kata pertama yang diurapkan oleh anak adalah kata benda, setelah beberapa waktu barulah disusul dengan kata kerja.
2.  Fase lebih dari satu kata
Fase dua kata muncul pada anak berusia sekkar 18 bulan. Pada fase ini anak sudah dapat membuat kalimat sederhana yang terdiri dari dua kata. Kalimat tersebut kadang-kadang terdiri dari pokok kalimat dan predikat, kadang-kadang pokok kalimat dengan obyek dengan tata bahasa yang tidak benar. Setelah dua kata, munculah kalimat dengan tiga kata, diikuti oleh empat kata dan seterusnya. Pada periode ini bahasa yang digunakan oleh anak tidak lagi egosentris, dari dan untuk dirinya sendiri. Mulailah mengadakan komunikasi dengan orang lain secara lancar. Orang tua mulai melakukan tanya jawab dengan anak secara sederhana. Anak pun mulai dapat bercerita dengan kalimat-kalimatnya sendiri yang sederhana.
3.  Fase diferensiasi
Periode terakhir dari masa balita yang berlangsung antara usia dua setengah sampai lima tahun. Keterampilan anak dalam berbicara mulai lancar dan berkembang pesat. Dalam berbicara anak bukan saja menambah kosa katanya yang mengagumkan, akan tetapi anak mulai mampu mengucapkan kata demi kata sesuai dengan jenisnya, terutama dalam pemakaian kata benda dan kata kerja. Anak telah mampu mempergunakan kata ganti orang “saya” untuk menyebut dirinya, mampu mempergunakan kata dalam bentuk jamak, awalan, akhiran dan berkomunikasi lebih lancar lagi dengan lingkungan. Anak mulai dapat mengkritik, bertanya, menjawab, memerintah, memberi tahu dan bentuk-bentuk kalimat lain yang umum untuk satu pembicaraan.
Bahasa anak secara terus menerus selalu berkembang. Anak banyak belajar dari lingkungannya, dengan demikian bahasa anak terbentuk oleh kondisi lingkungan. Lingkungan anak mencakup lingkungan keluarga, masyarakat dan  lingkungan pergaulan teman sebaya.
Perkembangan bahasa anak dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal. Hal ini berarti bahwa proses pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus dalam perilaku berbahasa.

c. Implementasi pengembangan bahasa pada PAUD
    Pengembangan kemampuan bahasa termasuk salah satu pengembangan kemampuan dasar anak usia dini. Pengembangan kemampuan bahasa  bertujuan agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungan. Adapun kemampuan yang diharapkan dicapai (Ali Nugraha, 2005) adalah (1) menirukan kembali urutan angka, urutan kata (latihan pendengaran), (2) menyanyikan beberapa lagu anak-anak dalam beberapa sajak sederhana, (3) menceritakan kembali isi cerita yang sudah diceritakan oleh guru, (4) menyebutkan sebanyak-banyaknya nama dan kegunaan suatu benda, dan (5) menggunakan kata ganti ”aku” atau ”saya”.
Sesuai dengan pandangan teori konstruktif yang dikemukakan Piaget dan Vygotsky, bahwa melalui interaksi sosial, anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruhnya pada pembelajaran adalah anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan berbagai kegiatan yang dapat mendorong mereka untuk sering berkomunikasi. Dengan interaksi aktif antar anak, maka bahasa anak akan berkembang dengan cepat.
Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak sebaiknya dalam aktivitasnya anak-anak  digabungkan dari berbagai usia. Harapannya adalah anak yang lebih tua dapat mencontohkan bahasa yang lebih kaya kepada anak yang lebih muda. Adanya anak yang lebih tua usianya atau orang dewasa yang mendampingi pembelajaran dan mengajak bercakap-cakap  akan menolong anak menggunakan kemampuan berbahasa yang lebih tinggi.
Lingkungan yang baik untuk pengembangan kemampuan berbahasa anak adalah lingkungan yang aktif ditempat anak berada, yaitu lingkungan yang kaya dengan bahasa. Hal ini dapat dilakukan oleh orang dewasa dengan meletakkan banyak kata-kata di lingkungan bermain anak. Di mana-mana anak dapat melihat tulisan sehingga menolong anak dalam mempelajari keaksaraan. Misalnya: kalau disekitarnya ada meja, dapat diberi tulisan “meja”, kalau di tempat bermain anak ada lemari maka di sana dapat dituliskan ”lemari”dan lain-lainnya. Orangtua dan pendidik yang aktif akan membawa lingkungan di luar anak yang kaya dengan bahasa ke dalam pikiran anak dan juga mengeluarkan segala sesuatu yang ada di dalam pikiran anak ke luar melalui bahasa yang diucapkan anak.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kemampuan bahasa meliputi 4 area  utama, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Berikut ini akan diuraikan bagaimana menciptakan lingkungan yang dapat memperkaya terhadap kemampuan bahasa tersebut.
1.      Mendengarkan
Untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan pada anak, maka yang dapat dilakukan oleh orangtua dan pendidik adalah menjadi model yang baik bagi anak, berkomunikasi yang jelas kepada anak, dan memberikan penguasaan pengetahuan dan aktivitas yang berkenaan dengan kegiatan mendengarkan itu sendiri. Aktivitas yang mendukung yang dapat dilakukan adalah: (a) bermain dengan mendengarkan musik, (b) menceritakan tentang cerita/dongeng, (c) memperdengarkan berbagai suara (sound effects), (d) memperdengarkan cerita dengan musik, dan (e) mempertanyakan apa yang di dengarkan.
2. Berbicara
Bicara merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif. Berbicara tidak sekedar merupakan prestasi bagi anak, akan tetapi juga berfungsi untuk mencapai tujuannya, misalnya: (1) sebagai pemuas kebutuhan dan keinginan; (2) sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain; (3) sebagai alat untuk membina hubungan sosial; (4) sebagai alat untuk mengevaluasi diri sendiri (5) untuk dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain; dan (6) untuk mempengaruhi perilaku orang lain (Mulyani Sumantri & Nana Syaodih, 2004).
Cara terbaik untuk mendorong perkembangan bahasa anak-anak adalah menyisihkan waktu untuk berbicara dengan anak-anak. Doronglah anak-anak untuk mengungkapkan pendapat, melontarkan pertanyaan dan mengambil keputusan. Anak-anak belajar kata-kata baru dengan mendengar kata-kata tersebut yang digunakan dalam konteks. Anak-anak juga belajar banyak berbicara melalui mendengarkan pembicaraan orang dewasa atau anak lain. Hendaknya orangtua tidak mengoreksi apa yang anak-anak katakan atau mengkritik cara mereka mengungkapkan diri. Peragakan cara pengucapan kata yang benar dengan menerangkan kata dalam pembicaraan.
Selain itu untuk menambah perbendaharaan kata, anak dapat diajak untuk membaca sedini mungkin. Dengan melihat gambar, anak dapat mengeksplorasi serta ada dialog antara orangtua dan anak. Gunakan bahasa yang singkat, jelas, dan benar (jangan gunakan bahasa kekanakan). Dan berbicaralah dengan pelan dan dibantu dengan ekspresi wajah atau gerakan tubuh.
3. Membaca
Pengembangan minat dan kebiasaan membaca yang baik harus dimulai sedini  mungkin pada anak-anak. Orang tua, terutama ibu dan guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan usaha-usaha pengembangan ini. Pengembangan minat dan kemampuan membaca harus dimulai dari rumah.
Membaca bukan sekedar membaca sepintas saja, tetapi membaca harus melibatkan pikiran untuk memaknainya. Membaca memerlukan proses yang panjang, dari mengenal simbol sampai pada memaknai tulisan.
Sebelum bisa membaca, anak-anak harus tahu dan menggunakan perbendaharaan kata-kata dasar yang baik. Anak hanya dapat memahami kata-kata yang mereka lihat tercetak jika mereka telah menemui kata-kata tersebut dalam pembicaraan. Anak-anak yang dapat berbicara dengan baik dan banyak cenderung menjadi pembaca yang baik pula.
Dalam belajar membaca permulaan pada anak, orangtua atau pendidik sebaiknya menggunakan kata-kata yang bermakna bagi anak. Anak akan tertarik membaca sebuah kata karena kata tersebut mempunyai makna yang dapat dimengerti anak. Janganlah mengajarkan kata-kata yang tidak umum tanpa memberikan konteks atau petunjuk mengenai maknanya. Gambar dengan kata-kata, label pada objek, tanda dalam situasi-situasi, semuanya ini memberikan suatu konteks kepada kata itu.  Misalnya : Kata ”mata’ dibaca anak bersamaan dengan adanya ”gambar mata”.
Selain itu orangtua atau pendidik sebaiknya menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan karakteristik materi membaca tahap awal, misalnya kata yang dipilih pendek dan dapat  diperkirakan, berulang-ulang, menggunakan bahasa yang sederhana, menggunakan irama, teksnya sederhana, mudah diingat, gambar dan teks harus sesuai, dan gambar sangat dominan.
Untuk mendukung perilaku keaksaraan berikutnya, anak harus banyak dikenalkan dengan buku. Buku-buku yang dikenalkan pada anak perlu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan anak. Buku cerita lebih tepat digunakan untuk menambah kosa kata anak, namun demikian anak tetap perlu menggunakan buku bacaan yang berbeda-beda, supaya mereka bisa melihat perbedaan tingkatan  dari tiap-tiap buku.
Untuk menciptakan lingkungan yang kaya terhadap perkembangan bahasa anak khususnya membaca maka orang tua harus memfasilitasi dengan menyediakan berbagai bahan bacaan untuk anak-anak, penuhilah tempat-tempat bermain mereka dengan berbagai bahan dan sumber bacaan yang bermanfaat.
4. Menulis
Kemampuan menulis sangat berkaitan dengan menggambar pada anak. Karena menulis dan menggambar sama-sama memerlukan keahlian psikomotor, dan  mempunyai kemampuan kognitif  yang sama.
Menggambar dan menulis melibatkan keterampilan psikomotor yang sama yaitu keterampilan motorik halus, maka untuk mengembangkan kemampuan ini orangtua atau pendidik harus dapat memfasilitasi sedini mungkin. Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh anak untuk membuat coretan atau tulisan. Saat anak 2 tahun jika diberi kesempatan memegang pensil atau crayon tentunya dia akan mencoret-coret sesukanya di kertas yang ada, hal ini merupakan tahap awal dari perkembangan menulis anak.
Dengan menggambar/menulis anak dapat mengekspresikan dirinya. Karena itu anak perlu mendapatkan kesempatan yang cukup dengan dukungan alat-alat yang beragam serta pendidik yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir anak.
Selain anak menggambarkan sesuatu yang ada dalam pikirannya ke dalam kertas, anak juga perlu menceritakan makna dari gambar yang dibuatnya. Disinilah orangtua atau pendidik memainkan peran yang penting dalam mengenalkan anak pada kekuatan komunikasi  antara gambar yang dibuatnya dengan kata-kata yang dapat dimunculkan anak. Jika pendidik dapat membuat pengalaman menggambar ini menjadi menantang, merangsang, dan memuaskan, maka anak akan menguasai sistem simbol yang beragam lainnya.

Sekedar Hiburan