Kita semua sadar bahwa guru berada di garda depan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka telah melahirkan banyak manusia pintar, seperti dokter, polisi, tentara, para ilmuan, menteri, sampai presiden. Bahkan guru juga melahirkan guru yang akan meneruskan generasi yang mencerdaskan bangsanya. Tidak heran apabila guru dielu-elukan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Zaman memang telah berubah. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budi dan cerahnya akal budi nyaris luntur tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung memanjakan nilai konsumtivisme dan materialisme. Banyak orang yang makin cuek dan masa bodoh terhadap keagungan nilai kejujuran, keuletan, atau kebersahajaan. Sukses seseorang pun semata-mata dinilai dari kemampuannya menumpuk harta, tanpa memedulikan dari mana harta itu diperoleh.Dalam kondisi zaman yang makin memberhalakan gebyar duniawi semacam itu, profesi dan ekonomi guru secara sosial harus mendapatkan perhatian. Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugas dan fungsiya secara profesional kalau masih dibebani oleh tetek bengek urusan perut. Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugasnya dengan tenang dan nyaman kalau harus terus memikirkan keluarganya yang sakit akibat minimnya jaminan kesehatan. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mengikuti laju informasi yang demikian cepat kalau tak sanggup langganan koran atau internet. Padahal, dunia ilmu pengetahuan dan informasi terus berkembang. Bagaimana bisa membikin siswa didiknya cerdas kalau dirinya sendiri buta informasi dan gagap teknologi. Tidak berlebihan jika pada akhirnya mutu pendidikan di negeri ini hanya “jalan di tempat”, bahkan mengalami kemunduran.
Mungkin inilah gambaran yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (dimasa Bapak Fasli Djalal menjadi Dirjen-nya). Menurutnya, terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Kondisi ini jelas amat kontras dengan mutu pendidikan di negeri jiran yang dulu menimba ilmu kepada bangsa kita. Konon, guru-guru di negeri jiran, seperti Malaysia atau Singapura bisa hidup lebih dari cukup hanya dengan mengandalkan penghasilannya sebagai guru. Para penguasa negeri itu benar-benar memosisikan guru pada aras yang mulia dan terhormat dengan memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan, dan perlindungan hukum yang amat memadai. Implikasinya, mutu pendidikan di negeri itu melambung bak meteor, makin jauh meninggalkan dunia pendidikan kita yang nyaris tak pernah bergeser dari keterpurukan. Hal itu bisa dilihat dari kualitas HDI (Human Development Index) negeri-negeri tetangga yang jauh berada di atas kita.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen nampaknya membawa angin segar bagi guru dan dosen. Setidaknya, pemerintah sudah menunjukkan kemauan politik untuk mengangkat harkat dan martabat guru pada posisi yang lebih terhormat. Dalam pasal 14 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Apakah yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum? Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Bahasa sederhananya, ke depan seorang guru profesional berhak mendapatkan tambahan penghasilan yang jumlahnya sangat “aduhai” untuk ukuran guru di Indonesia.
Bagi kebanyakan guru di Indonesia, tambahan penghasilan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan mengingat penghasilan guru di Indonesia pada umumnya relatif rendah. Rendahnya penghasilan guru di Indonesia semakin terasa apabila dibandingkan dengan penghasilan guru di negara yang kinerja pendidikannya relatif memadai seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat (AS).
Namun untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang “aduhai” itu bukanlah persoalan yang mudah. Dalam pasal 16, misalnya, ditetapkan bahwa (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Itu artinya, guru yang belum memiliki sertifikat pendidik jangan bermimpi untuk mendapatkan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok.
Sekarang sedang maraknya dilaksanakan uji kualifikasi dan kompetensi guru untuk mendapatkan selembar sertifikat pendidik profesional. Pertanyannya adalah : Seandainya sudah banyak guru yang memiliki sertfikat profesi, apakah ada jaminan adanya peningkatan mutu pendidikan? Jika berkaca pada pengalaman negara-negara maju, program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru-guru mereka.
Menurut penulis, kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah pendidikan di Indonesia. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas. Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang kariernya.
Selain itu, guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar