Senin, 05 Desember 2011

Benarkah Pendidikan Kita Kehilangan Karakter?

Akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia dihebohkan dengan “pendidikan berkarakter”. Dunia pendidikan selama ini dianggap telah gagal menanamkan karakter pada anak-anak bangsanya. Benarkah demikian?
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari TK, SD bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi memiliki mental yang lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Nilai kejujuran, kerja keras, sikap kesatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia, tapi ini tampaknya sangat sulit untuk diwujudkan di bumi Indonesia tercinta ini.
Pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran pernah mengarah pada penanaman nilai karakter bangsa seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),  tetapi semua itu belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya contoh yang rill dalam aspek kehidupan. Dan yang lebih penting lagi tidak ada contoh teladan dalam program itu.  Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan omongan, atau pembahasan masalah karakter bangsa hanya lewat seminar, penataran, symposium, diskusi dan sebagainya mustahil karakter yang diharapkan dapat diwujudkan di negeri ini.
Sebagai contoh, UAN adalah sebuah ide yang sangat bagus. Tapi di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya bisa lulus semua. Sebab hal itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya, akhirnya semua daya dan upaya dilakukan demi sebuah kelulusan. Kebijakan sertifikasi guru juga bagus, tetapi  karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat dan uang tunjangan profesi, bukan berburu ilmu.  Bukan tidak mungkin, gagasan pendidikan karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Mari kita baca sejarah, salah seorang pahlawan nasional kita Mohammad Natsir, pernah mengungkapkan ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya”. Melihat ungkapan tersebut, maka awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud bukan sekedar guru pengajar dalam kelas formal. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. Guru adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Kini yang dibutuhkan bangsa ini adalah guru-guru sejatiyang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana anak bangsa ini akan berkarakter  jika setiap hari dia melihat pejabat menggumbar kata-kata tanpa perbuatan yang nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru yang berperilaku tidak seperti guru lagi.

Pendidikan karakter adalah perkara besar dan masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan dunia pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya sampai ke bawah harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka yang dibiayai oleh rakyat adalah mobil impor kelas dunia dan sama sekali tidak hemat. Apakah ini contoh sebuah karakter?
Perlu kita ingat, memahami pendidikan adalah memahami tentang manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Bahkan, ukuran baik tidaknya tingkah laku manusia diukur dari latar belakang pendidikannya. Namun, apabila proses pendidikan masih mengorientasikan manusia yang mendiaminya pada kecerdasan kognitif belaka dan nilai angka yang utama maka tidak heran apabila kita menemukan lulusan yang siap kerja tapi tidak bisa berkarya.
Oleh karena itu dalam pelaksanaan di lapangan, maka yang harus menjadi titik awal pelaksanaan pendidikan karakter adalah tujuan pendidikan karakter itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi sarana yang mampu membentuk manusia berkarakter dan tentunya semua itu dapat terwujud bila pendidikan itu sendiri berkarakter. Mudah-mudahan dapat kita wujudkan.


Selasa, 15 November 2011

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial (Karakter) Anak

Akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia dihebohkan dengan “pendidikan karakter”. Dunia pendidikan selama ini dianggap telah gagal menanamkan karakter pada anak-anak bangsanya. Benarkah demikian? Sebagai seorang pendidik kita merasa terpukul dengan berbagai ungkapan yang mendiskreditkan dunia pendidikan. Bagaimana tidak, karena karakter atau perilaku sosial suatu masyarakat bukan semata-mata menjadi tanggungjawab sekolah. Perlu kita sadari bahwa sebelum dan selain menduduki bangku sekolah anak-anak tentu berasal dari keluarga dan lingkungan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi. Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya. Ayah dan ibu adalah teladan pertama bagi pembentukan pribadi anak. Seperti keyakinan-keyakinan, pemikiran dan perilaku ayah dan ibu, dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap pemikiran dan perilaku anak. Karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan kondisi dalam lingkungan keluarga.
Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak dengan cara mengembangkan pola komunikasi dan interaksi dengan sesamanya agar menjadi pribadi yang mantap dan kaffah (utuh). Marie Jahoda (Sumpeno, 1998) berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kepribadian yang mantap adalah orang yang dapat menguasai lingkungannya secara aktif, memperhatikan kesatuan dan segenap kepribadiannya. Memiliki kesanggupan menerima secara tepat dunia lingkungannya dan dirinya sendiri, bersifat mandiri tanpa terlalu banyak terpengaruh orang lain.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orang tua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orang tua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat.

Pengelompokan Pola Asuh Orang Tua
Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
a.             Pola asuh otoriter
Menurut Rasyid (2008) sikap otoriter adalah sikap yang selalu menolak keinginan-keinginan anak dan menghalanginya dari melakukan perbuatan tertentu atau dari mewujudkan hasrat tertentu. Sikap otoriter juga sikap keras dalam memperlakukan anak dan membebani mereka dengan tugas-tugas yang berada diluar kemampuannya. Hal itu biasanya dilakukan dengan cara memerintah, melarang, tidak percaya, mencerca, dan menghukum.
Kekuasaan orang tua dominan Anak tidak diakui sebagai pribadi. Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat. Orang tua menghukum anak jika anak tidak patuh. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua).
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Orang tua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif.
b.        Pola asuh demokratis
Ada kerjasama antara orang tua - anak. Anak diakui sebagai pribadi. Ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua. Ada kontrol dari orang tua yang tidak kaku. Pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orang tua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja.
c.         Pola asuh Permisif
Dominasi pada anak, sikap longgar atau kebebasan dari orang tua, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua. Kontrol dan perhatian orang tua sangat kurang. Pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat).
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Orang tua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa pola perlakuan orang tua akan cenderung mempengaruhi dan mewarnai tingkah laku pada anaknya. Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak akan memberikan  pengaruh yang berbeda pula pada perkembangan kepribadian anaknya. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
d.        Pola asuh Perlindungan Berlebihan (Over-Proteksi)
            Yang termasuk perlindungan berlebihan dalam hal ini adalah memanjakan, memenuhi segala sesuatu yang diinginkan, dan mencampuri segala kewajiban dan tanggung jawab si anak. Pada dasarnya, sikap merampas keinginan anak untuk mandiri. (Rasyid, 2008:189).
            Kita mungkin menemukan orang tua yang terus menerus melakukan campur tangan dalam urusan anak. Ia menjadi pengganti si anak dalam mengerjakan tugas, peran, dan tunggung jawab yang seharusnya dipikul oleh anak. Padahal, seharusnya si anak dibidarkan berlatih melakukannya. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi si anak untuk memilih kegiatan, hubungan-hubungan, makanan, permainannya sendiri, dan seterusnya. Hal ini akan menjadi si anak kurang pengalaman sehingga tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
e.         Pola Asuh dengan Sikap Memanjakan
            Ini adalah kebalikan dari sikap keras dan kaku dalam mendidik. Bentuknya adalah selalu mengikuti segala sesuatu yang diminta oleh anak setiap kali ia menginginkannya. Jika ada permintaan atau keinginannya yang tidak dapat dibenarkan atau tidak dapat diterima, selalu diganti dengan sesuatu yang lain. Semua orang selalu mematuhi dan mengikuti kemauannya. Mereka tidak pernah menolak apa pun yang terjadi. Dengan kondisi itu, anak menjadi terbiasa menerima tanpa pernah memberi; memerintah; dan melarang, tanpa mengetahui kewajiban dan tanggung jawab dirinya. Anak seperti itu akan tumbuh menjadi orang yang tidak peduli, tidak ada aturan yang dapat mengendalikannya, tidak mampu memikul tanggung jawab, dan selalu mengandalkan orang lain dalam segala sesuatu (Rasyid, 2008).
Sikap berlebihan dalam memanjakan dan memberi toleransi boleh jadi disebabkan oleh: Pertama, orang tua ingin menggantikan kasih sayang dan cinta yang tidak mereka peroleh saat mereka kanak-kanak. Biasanya, hal ini dilakukan dengan cara ’’menenggelamkan’’ anak dalam kasih sayang, pemanjaan, dan toleransi. Kedua, hasrat orang tua untuk mengikuti apa yang mereka peajari dari para orang tua mereka. Mereka menerapkan cara yang diterapkan oleh ibu bapak mereka saat mereka kecil.
Dampak buruk pemanjaan terhadap kepribadian anak antara lain:
1)      Membuat anak tidak mandiri dan tidak melakukan apa pun, kecuali jika mendapat bantuan orang lain. Ia mengalami keterlambatan kematangan
2)      Menjadikan anak terus-menerus meminta perlindungan dan tidak mudah melepaskan diri dari orang tuanya
3)      Menjadi anak tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan tidak menghormati tanggung jawab. Ia juga tidak akan mampu menahan keinginan-keinginannya. Oleh karena itu, ia akan selalu merasakan gungcangan jiwa saat berhadapan dengan kesulitan dan kondisi yang mengecewakannya
4)      Muncul sikap egois dan posesif (selalu ingin memiliki)
Pola asuh orang tua dan dampak terhadap perilaku anak menurut Hurlock (Syamsu Yusuf LN, 2000) yaitu:
a.    Terlalu melindungi (overproctection) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang terlalu melindungi yaitu:
1)      Kontak terlalu berlebihan dengan anak
2)      Perawatan/pemberian bantuan kapada anak yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu merawat dirinya sendiri
3)      Mengawasi kegiatan anak secara berlebihan
4)      Memecahkan masalah anak
Sedangkan ciri-ciri tingkah laku anaknya adalah perasaan tidak aman, agresi dan dengki, mudah merasa gugup, melarikan diri dari kenyataan, sangat tergantung, ingin menjadi pusat perhatian, bersikap menyerah, kurang menghargai teman, kurang mampu mengendalikan emosi, menolak tanggug jawab, kurang percaya diri, mudah terpengaruh, peka terhadap kritik,dan lain-lain.
b.   Pembolehan (permissiveness) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang pembolehan yaitu:
1)      Memberikan kebebasan untuk berfikir atau berusaha
2)      Menerima gagasan/pendapat
3)      Membuat anak marasa diterima dan merasa kuat
4)      Toleran dan memahami kelemahan anak
5)      Cenderung lebih suka memberi yang diminta anak dari pada menerima
Sedangkan ciri-ciri dari tingkah laku anaknya adalah pandai mencari jalan keluar, dapat bekerjasama, percaya diri, dan penuntut dan tidak sabaran.
c.    Penolakkan (rejection) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang penolakkan yaitu:
1)      Bersikap masa bodoh
2)      Bersikap kaku
3)      Kurang mempedulikan kesejahteraan anak
4)      Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
Sedangakan ciri-ciri tingkah laku anaknya yaitu: agresi (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal, kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut, sulit bergaul, pendiam, sadis.
d.   Penerimaan (acceptance) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang penerimaan yaitu:
1)        Memberikan perhatian dan cinta kasih sayang yang tulus kepada anak
2)        Menepatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah
3)        Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak
4)        Bersikap respek terhadap anak
5)        Mendorong anak untuk menyamakan perasaan atau pendapatnya
6)        Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengar masalahnya.
Sedangakan ciri-ciri tingkah laku anaknya yaitu; mau bekerja sama, bersahabat, loyal, emosi stabil, ceria dan bersikap optimis, mau menerima tanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, memiliki perencanaan yang jelas untuk mencapai masa depan, bersikap realistik (memahami kekuatan dan kelemahan dirinya secara objektif).
e.    Dominasi (dominition) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang dominasi yaitu: mendominasi anak, Sedangakan ciri-ciri tingkah laku anaknya yaitu: bersikap sopan dan sangat berhati-hati, pemalu, penurut, dan mudah tersinggung, tidak dapat bekerja sama.
f.     Pasrah (submission) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang pasrah yaitu:
1)      Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak
2)      Memberikan anak berperilaku semaunya di rumah
Sedangakan ciri-ciri tingkah laku anaknya yaitu; tdak patuh, tidak bertanggung jawab, agresif dan teledor/lalai, bersikap otoriter, dan terlalu percaya diri
g.    Terlalu disiplin (overdiscipline) ciri-ciri dari perlakuan orang tua yang terlalu disiplin yaitu:
1)      Mudah memberikan hukuman
2)      Menanamkan kedisiplinan secara keras
Sedangakan ciri-ciri tingkah laku anaknya yaitu; impulsif, tidak dapat mengambil keputusan, nakal, sikap bermusuhan atau agresif.
Ketujuh pola asuh orang tua tersebut ada kelebihan dan kekurangannya. Namun diantara pola asuh orang tua itu, pola asuh penerimaan (acceptance) merupakan alternatif yang relatif baik untuk dilakukan oleh orang tua. Sikap seperti itu ternyata telah memberikan kontribusi yang baik terhadap perilaku sosial anak.
 

Selasa, 08 November 2011

Konsep dan Panduan Pelaksanaan Untuk Memfasilitasi Perkembangan Emosional dan Sosial Anak Usia Dini


Proses pendidikan dan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan tujuan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak melalui pengalaman nyata yang dapat memungkinkan mereka untuk menunjukkan aktivitas dan rasa ingin tahu secara optimal dan menempatkan posisi pendidik sebagai pendamping, pembimbing, serta fasilisator bagi anak. Melalui proses pendidikan seperti ini diharapkan dapat menghindari bentuk pembelajaran yang hanya berorientasi pada kehendak dan dominasi guru sehingga menjadikan anak pasif.
            Praktik pendidikan yang berorientasi pada perkembangan sosio-emosional anak dapat dilakukan guru dengan:
1.      Memfasilitasi perkembangan self control pada anak dengan menggunakan teknik-teknik bimbingan yang positif seperti dengan memberikan contoh dan mendorong perilaku-perilaku yang diharapkan, mengarahkan kembali anak pada suatu aktivitas yang lebih dapat diterima dan merancang batasan-batasan yang jelas. Harapan-harapan guru cocok dengan dan menghargai kemampuan-kemampuan anak yang berkembang.
2.      Anak banyak diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial seperti bekerja sama, membantu, bernegosiasi, dan berbicara dengan orang yang terlibat dalam pemecahan masalah-masalah interpersonal. Guru memfasilitasi perkembangan keterampilan-keterampilan sosial yang posistif ini sepanjang waktu.
            Pada rentang usia ini anak mengalami masa yang sangat berharga atau yang disebut dengan masa keemasan (golden age) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai ransangan. Masa peka masing-masing anak berbeda-beda,seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis, anak telah siap menerima stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar pertama untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio emosional, dan spiritual.
Menurut Solehudin (2000: 56) fungsi dari pendidikan anak usia dini pada prinsipnya ada lima, yang saling berkaitan satu sama lainnya yaitu: pengembangan potensi, penanaman dasar-dasar akidah dan keimanan, pembentukan dan pembiasaan perilaku-perilaku yang diharapkan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan, dan pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif.
Sedangkan  prinsip yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan  pendidikan anak usia dini diantaranya: Pertama, setiap anak itu unik. Tidak ada dua anak yang persis sama sekalipun mereka kembar. Setiap anak terlahir dengan potensi yang berbeda-beda, memiliki kelebihan, bakat, dan minat sendiri. Mereka tumbuh kembang dari kemampuan, kebutuhan, keinginan, pengalaman, dan latar belakang keluarga yang berbeda. Kedua, anak usia 2-6 tahun adalah anak yang senang bermain. Bagi mereka bermain adalah cara mereka belajar. Untuk itu kegiatan bermain harus dapat memfasilitasi keberagaman cara belajar dalam suasana senang, sukarela dan kasih sayang dengan memanfaatkan kondisi lingkungan sekitar. Dan yang ketiga, pendidik yang bertugas dalam kegiatan bermain adalah pendidik yang memiliki kemauan dan kemampuan mendidik, memahami anak, bersedia mengembangkan potensi yang dimiliki anak, penuh kasih sayang dan kehangatan serta bersedia bermain dengan anak.       
            Sebelum merumuskan konsep belajar yang dapat memfasilitasi perkembangan anak usia dini, terlebih dahulu kita arus memahami siapa anak usia dini itu, bagaimana mereka berkembang dan belajar.
Bredecamp & Copple (Solehuddin, 2004: 72) mengungkapkan bahwa secara garis besar karakteristik berpikir anak usia dini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.      Berpikir simbolik (symbolic thought). Berpikir simbolik adalah kemampuan anak untuk mempresentasikan obyek, tindakan dan peristiwa-peristiwa secara mental atau simbolik.
2.      Egosentrisme, pemokusan perhatian dan kekonkritan (egosentrism, centration, and concentreness).
3.      Nalar (reasoning). Pada usia sekitar 3-5 tahun anak sering bernalar dari hal-hal yang khusus ke hal-hal yang khusus lagi.
4.      Perolehan konsep (concept acquisition). Anak usia dini mengorganisasikan informasi menjadi konsep berdasarkan atribut-atribut yang mendefinsikan suatu obyek atau ide dan juga mendeskripsikan konsep tersebut berdasarkan tampilan dan tindakannya.
5.      Klasifikasi (classification). Antara 3-5 tahun anak menunjukkan minat yang meningkat terhadap penjumlahan dan kuantitas serta aktivitas mencocokkan dan mengklasifikasi yang lebih kompleks.
6.      Kemampuan memproses informasi (information processing). Pada usia dini, perhatian dan memori anak belum sepenuhnya berkembang sehingga menyebabkan adanya keterbetasan dalam kemampuan mereka untuk bernalar dan memecahklan masalah.
7.      Kognisi sosial (social cognition). Interaksi sosial memainkan peran  penting dalam perkembangan kognisi anak.
8.      Kreativitas (creativity). Belahan otak kanan (yang sangat berkaitan dengan imajinasi dan kreativitas) merupakan cara berpikir dan belajar yang sangat dominan pada masa usia dini, khususnya pada usia sekitar dua tahun pertama. Ini berarti bahwa berpikir kretaif itu merupakan sesuatu yang sangat potensial untuk berkembang pada sekitar usia tersebut bila orang tua dan pendidik lainnya dapat menyediakan lingkungan dan perlakuan pendidikan yang tepat bagi anak.
Jean Piaget mengemukakan karakteristik anak usia dini dengan memberikan penekanan pada tahapan perkembangan kognitif anak yang terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, dan tahap operasional konkret
Selanjutnya Solehudin menjelaskan bahwa suatu reviu yang sangat komprehensif yang dilakukan oleh Bredecamp dan Copple (1997) menyimpulkan bahwa secara umum cara perkembangan dan belajar anak berlangsung dalam prinsip-prinsip berikut:
o   Perkembangan berlangsung dari suatu keseluruhan ranah fisik, kofnitif, dan sosio-emosi yang saing terjalin dan perkembangan dalam satu ranah berpengaruh terhadap dan dipengaruhi oleh perkembangan dalam ranah-ranah yang lain.
o   Perkembangan terjadi dalam satu urutan yang relatif dapat diprediksi serta abilitas, keterampilan, dan egetahuan selanjutnya dibangun berdasarkan apa yang sudah diperoleh terdahulu.
o   Perkembangan berlangsung dengan rentang yang bervariasi anatar anak dan juga antar bidang perkembangan dari masing-masing fungsi.
o   Pengalaman-pengalaman awal memiliki pengaruh kumulatif dan tertunda terhadap perkembangan anak.
o   Terdapat peride-periode optimal untuk perkembangan dan belajar tertentu.
o   Perkembangan dan belajar berlangsung ke arah kompleksitas, kekhususan, organisasi, dan internalisasi yang lebih meningkat.
o   Perkembangan dan belajar terjadi dalam dan dipengaruhi oleh koteks sosial dan kultural anak.
o   Anak adalah pemeljara aktif yang mampu membangun pemahamannya tentang lingkungan sekitar dari pengalaman fisik dan sosialnya serta dari pengetahuan yang diperoleh secara kultural
o   Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari interaksi kematangan biologis dan lingkungan yangmencakup lingkungan fisik dan sosial tempat anak tinggal.

o   Bermain merupakan sarana yang penting bagi perkembangan dan belajar anak.
o   Perkembangan dapat mengalami percepatan bila anak memiliki kesempatan untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang baru diperoleh dan jugaketika mereka mengalami tantangan di atas level penguasaannya saat ini.
o   Anak memiliki cara dan keunggulan yang berbeda dalam belajar.
o   Anak berkembang dan belajar terbaik dalam suatu konteks komunitas yang menghargai, memenuhi kebutuhan fisiknya, dan aman beik secara fisik maupun psikologis.
Dengan memahami pemahaman di atas maka konsep untuk pelaksanaan pendidikan anak usia dini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Arah dan sasaran
    Pendidikan anak usia dini hendaknya terarah pada pengembangan segenap aspek potensi dan kemampuan anak sesuai dengan ajaran agama mereka (Islam) dan nilai-nilai kehidupan yang dianut.
Melalui pendidikan ank usia dini anak diharapkan:
o   Dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara sehat dan optimal (agama, intelektual, sosial, emosi,dan fisik)
o   Memiliki dasar-dasar aqidah yang benar sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
o   Memiliki sikap dan kebiasaan perilaku yang diharapkan.
o   Menguasai sejumlah pengetahuan dan keterampilan dasar sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya.
o   Memiliki motivasi dan sikap belajar yang positif.

2. Bahan dan Perlengkapan Pendidikan
Bahan dan peralatan yang digunakan adalah yang dipandang cocok bagi anak yaitu:
o   Sesuai dengan tingkat perkembangan dan konteks sosial-kultural anak.
o   Bervariasi, kaya, dan seimbang sehingga memenuhi segenap aspek perkembangan anak.
o   Bermamfat dan menarik bagi anak.
o   Aman dan sehat bagi anak.

3. Karakteristik Program
Program pendidikan untuk anak usia dini harus sesuai dengan karakteristik dan cara belajar anak. Secara umum program PAUD hendaknya memiliki karakteristik sebagai berikut:
o   Tidak terstruktur, program dirancang dan disajikan secara tidak kaku, tetapi sifatnya lebih informal sebagai kegiatan keseharian.
o   Terintegrasi, program disajikan sebagai suatu aktivitas belajar yang terintegrasi, tidak dipilah-pilah dalambentuk mata pelajaran.
o   Emergent, program diselenggarakan dengan memperhatikan apa yang secara kontekstual terjadi dalam interaksi pendidikan dengan anak.
o   Pengalaman langsung, program harus menekankan aktivitas konkrit dan pengalaman langsung dari anak.
o   Melalui suasana bermain dan menyenangkan, interaksi pendidikan diupayakan terjadi dalam suasana bermain dan menyenangkan bagi anak.
o   Responsif, program yang dirancang harus dapat memperhatukan perbedaan individual anak baik dalam hal kecakapan, minat, dan aspek-aspek lainnya.

4. Komunikasi dan Interaksi Pendidikan
Komunikasi dan interaksi pendidikan dibangun berlandaskan saling menghormati bukan saling merendahkan; keaslian dan kejujuran bukan pura-pura; kasih sayang bukan kekerasan; tanggungjawab bukan hukuman yang dipaksakan; terbuka dan logis sesuai dengan kemampuan berfikir anak dan nilai-nilai budaya setempat bukan tertutup atau menghindar, serta terbebas dari hal-hal yang menyesatkan secara aqidah.

5. Penilaian
Dalam pelaksanaan pendidikan anak usia dini penilaian hendaknya bersifat menyeluruh baik terhadap proses maupun hasilnya serta mencakup segenap aspek perkembangan dan perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Selain itu sistem penilaian hendaknya lebih ditekankan penggunannya secara autentik dan natural. Dalam sistem ini, penilaian dilakukan dengan cara menilai performan-performan anak yang bermakna dan karya-karya anak yang terkiat langsung dengan masalah-masalah dunia nyata.

6. Kerjasama Guru dan Orangtua
Dalam penyelengaraan pendidikan untuk anak usia dini guru dan orangtua (masyarakat) hendaknya berperansebagai partner. Guru dan orangtua menalin komunikasi dan kolaborasi yang erat dan sejalan serta sama-sama bertanggung jawab atas keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan anak sesuai dengan posisi dan peran masing-masing.

Untuk mengetahui bagaimana panduan pelaksanaan pembelajaran yang dapat memfasilitasi perkembangan emosional dan sosial anak usia dini terlebih dahulu kita ketahui bagaimana anak itu belajar.
Djadja Djainuri (Masitoh, 2005) mengemukakan bahwa belajar anak berbeda dengan belajar orang dewasa karena anak belajar setiap saat. Prinsip-prinsip belajar anak adalah:
  1. Anak adalah pembelajar aktif.  Ketika bergerak anak mencari stimulasi yang dapat meningkatkan kesempatan untuk belajar. Anak menggunakan seluruh tubuhnya sebagai alat untuk belajar. Anak secara energik mencari cara untuk menghasilkan potensi maksimal.
  2. Belajar anak dipengaruhi oleh kematangan. Guru harus memahami bagaimana kematangan anak dapat dicapai dan apa yang perlu dilakukan untuk memfasilitasi kematangan tersebut.
  3. Belajar anak dipengaruhi oleh lingkungan. Tidak hanya lingkungan fisik tetapi juga lingkungan belajar.
  4. Anak belajar melalui kombinasi lingkungan fisik, sosial dan refleksi. Dengan pengalaman tersebut anak memperoleh pengetahuan. Tugas guru disini adalah bagaimana menyediakan lingkungan ang memungkinkan anak memperoleh pengalaman fisik, sosial dan mampu merefleksikannya.
  5. Anak belajar dengan gaya yang berbeda. Ada yang tipe visual, tipe auditif, dan tipe kinestetik.
  6. Anak belajar melalui bermain. Melalui bermain anak dapat memahami menciptakan memanipulasi simbol-simbol dan melakukan percobaan dan peran-peran sosial.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa pembelajaran di bagi anak usia dini harus menerapkan esensi bermain. Esensi bermain meliputi perasaan menyenangkan, merdeka, bebas memilih, dan merangsang anak terlibat aktif. Prinsip bermain sambil belajar mengandung arti bahwa setiap kegiatan pembelajaran harus menyenangkan, gembira, aktif, dan demokratis. Karena dengan bermain anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai dan sikap. Melalui kegiatan bermain bermain anak dapat mengembangkan kreativitasnya, yaitu melakukan kegitan yang mengandung kelenturan, memanfaatkan imajinasi atau ekspresi diri, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah, mencari cara baru dan sebagainya.
Berkenaan dengan hal ini, National Association for the Education of Young Children Amerika Serikat (NAEYC) menerbitkan suatu panduan pendidikan bagi anak dini (usia 8 tahun ke bawah) yang salah satunya menekankan penerapan bermain (temasuk bernyanyi dan bercerita) sebagai lat utama belajar anak. sejalan dengan itu di Indonesia pun kebijakan pemerintah dibidang pendidikan anak usia dini juga menganut bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain.
Dalam menerapkan bermain sebagai bagian dari pembelajaran untuk anak usia dini, guru perlu mengetahui prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh. Berikut ini diuraikan contoh panduan pelaksanaan (prosedur pelaksanaan) penerapan pembelajaran melalui bermain.
 
1. Rancangan Kegiatan Bermain
Rancangan kegiatan bermain meliputi penentuan  tujuan dan tema kegiatan bermain; macam kegiatan bermain; tempat dan ruang bermain; bahan dan peralatan bermain; dan urutan langkah bermain.
a.       Menentukan tujuan dan tema kegiatan bermain
Tujuan kegiatan bermain bagi anak usia dini adalah untuk meningkatkan pengembangan seluruh aspek perkembangan, baik perkembangan motorik, kognitif, bahasa, kreativitas, emosi dan sosial. Kegiatan akan memberikan hasil yang optimal jika kegiatan ini dirancang dengan seksama. Misalnya, tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan bermain setelah anak-anak melakukan kegiatan bermain dapat menguasai cara mengkreasi sesuatu, membangun, dan bekerja sama.
b.      Menentukan jenis kegiatan bermain
Jenis kegiatan yang dipilih adalah bermain kreatif dengan menggunakan media pasir. Kegiatan ini dilaksanakan secara bergiliran. Setiap sesi hanya melibatkan 4/5 orang anak. Sisanya melakukan kegiatan lain di bawah pengawasan guru lain.
c.       Menentukan tempat dan ruang bermain
Tempat dan ruang bermain dapat dilakukan di dalam dan di uar ruang. Untuk kegiatan bermain dalam rangka mengembangkan kemampuan kreatif, sebagaimana ditentukan dalam tujuan dan tema yang dipilih, yaitu kegiatan bermain kreatif membangun pasir maka kegiatan bermain tersebut cocok dilakukan di luar kelas.
d.      Menentukan bahan dan peralatan bermain
Sebelum melakukan kegiatan bermain, bermacam bahan dan peralatan yang diperlukan perlu dipersiapkan terlebih dahulu secara lengkap, agar pada saat melakukan kegiatan bermain guru tidak lagi mencari bahan atau alat yang belum tersedia.
e.       Menentukan urutan langkah bermain
Sebelum menentukan urutan langkah bermain, sesuai dengan jenis bermain yang sudah ditetapkan, maka perlu ditetapkan pula kegiatan yang harus dilaksanakan oleh anak-anak yang terlibat dalam permaianan. Kualitas pelaksanaan kegiatan bermain banyak dipengaruhi oleh rancangan kegiatan bermain yang telh disusun. Hasil pelaksanaan kegiatan bermain merupakan masukan bagi guru untuk mengadakan perbaikan dan pengembangan rancangan bermain yang telah disusun.  

2. Pelaksanaan Kegiatan Bermain
Pelaksanaan kegiatan bermain dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.      Kegiatan Prabermain
Pada tahap ini terdapat dua macam kegiatan persiapan yaitu:
1)  Kegiatan penyiapan siswa dalam melaksanakan kegiatan bermain yang meliputi:
o   Guru mengkomunikasikan tujuan kegiatn bermain kepada siswa
o   Guru mengkomunikasikan batasan-batasan yang harus dipatuhi siswa.
o   Guru menawarkan tugas pada masing-masing anak.
o   Guru memperjelas apa yang harus dilakukan oleh setiap anak dalam melaksanakan tugasnya.
2) Kegiatan penyiapan bahan dan peralatan yang siap untk dipergunakan.
b.      Kegiatan Bermain
Tahap ini terdiri dari rangkaian kegiatan yang dilakukan, misalnya
o   Semua anak menuju ke tempat kegatan bermain yang akan dilaksanakan.
o   Dengan bimbigan guru, setiap peserta permainan mulai melaksanakan tuganya masing-masing.
o   Semua anak mengumpulkan dan membersihkan peralatan bermain yang digunakan.
o   Apabila sudah selesai anak mencuci tangan.
c.       Kegiatan Penutup
Kegiatan ini merupakan kegiatan akhir dari seluruh langkah kegiatan bermain, yang meliputi:
o   Menarik perhatian dan membangkitkan minat anak tentang aspek-aspek penting dalam kegiatan bermain.
o   Menghubungkan pengalaman anak dalam bermain dengan pengalaman bersama orang tua mereka.
o   Menunjukkan aspek penting dalam bekerja secara kelompok.
o   Menekankan pentingnya kerjasama.
d.      Evaluasi Kegiatan Bermain
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan kegiatan bermain yang telah ditetapkan sebelumnya. Kriteria yang dapat berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan evaluasi adalah:
1). Menentukan apa yang akan dievaluasi, siapa yang akan dievaluasi serta dalam situasi apa akan dievaluasi.
2). Menentukan tujuan evaluasi secara jelas.
3). Menentukan cara memperoleh data evaluasi.
4). Mengetahui kegunaan evaluasi yang diperoleh.
5). Menyatakan tujuan kegiatan secara jelas.
6). Menggunakan   hasil   evaluasi   kegiatan   untuk   dimanfaatkan   bagi peningkatan lebih lanjut.

Sekedar Hiburan