Rabu, 13 April 2011

Profil Guru Masa Depan

Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini peranan "teaching" amat penting, karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada siswa sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri, dan berguna tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya.
 
Mengajar hanya dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang yang telah melewati pendidikan tertentu yang memang dirancang untuk mempersiapkan guru. Dengan kata lain, mengajar merupakan suatu profesi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, muncul dua kecenderungan: Pertama, proses mengajar menjadi sesuatu kegiatan yang semakin bervariasi, kompleks, dan rumit. Kedua, ada kecenderungan pemegang otoritas structural, ingin memaksakan kepada guru untuk mempergunakan suatu cara mengajar yang kompleks dan sulit. Sebagai akibat munculnya dua kecenderungan di atas, maka guru dituntut untuk menguasai berbagai metode mengajar dan diharuskan menggunakan metode tersebut. Misalnya, mengharuskan mengajar dengan CBSA. Untuk itu, guru harus dilatih dengan berbagai metode dan perilaku mengajar yang dianggap canggih. Demikian pula, di lembaga pendidikan guru, para mahasiswa diharuskan menempuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan mengajar. Namun sejauh ini perkembangan mengajar yang semakin kompleks dan rumit belum memberikan dampak terhadap mutu siswa secara signifikan. Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pertanyaan mengapa mengajar menjadi sedemikan kompleks dan rumit?
 
A. Profesi mengaiar
 
Pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Hard profession dan Soft Profession. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter dan pilot merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan yang dapat menghasilkan lululsan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waktu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service framing bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan dan advokat, merupakan contoh dari kategori profesi ini.
 
Mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan, dan keyakinan yang dimiliki oleh guru. Dalam proses belajar mengajar, guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi para siswa. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batasbatas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dalammelaksanakan tugas tersebut guru akan dihadapkan pada perbagai problem yang muncul dan sebagian besar problem tersebut harus segera dipecahkan serta diputuskan pemecahannya oteh guru itu sendiri pada waktu itu pula. Sebagai konsekuensinya, yang akan dan harus dilakukan oleh guru tidak mungkin dapat dirumuskan dalam suatu prosedur yang baku.
 
Agar transfer tersebut dapat berlangsung dengan lancar, maka guru paling tidak harus senantiasa melakukan tiga hal: a) menggerakkan, membangkitkan dan menggabungkan seluruh kemampuan yang dimiliki siswa; b) menjadikan apa yang ditransfer menjadi sesuatu yang menantang diri siswa, sehingga muncul intrinsic-motivation untuk mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan yang lain.
 
Profesi guru adalah lebih cocok dikategorikan sebagai Soft Profession. Karena dalam mengajar guru dapat melaksanakan dengan berbagai cara yang tidak harus mengikuti suatu prosedur baku, dan aspek dan "sense" dan "art" memegang peran yang amat penting. Misalnya, mungkin saja seorang guru mengajar dengan menyajikan kesimpulan pada awal pelajaran yang kemudian baru dilaksanakan pembahasan. Pada kesempatan lain, ia mengajar dengan menyampaikan bahasan dulu baru menarik kesimpulan. Kalau dokter membedah dahulu baru kemudian membius berarti dokter tersebut melakukan malpraktek, dan pasti akan menghasilkan kecelakaan.
 
Namun, dewasa ini pekerjaan mengajar diperlakukan sebagai hard profession, sehingga mengajar menjadi suatu proses yang sedemikian kompleks. Sebagai konsekuensinya, maka perlu disusun suatu prosedur perilaku baku dalam mengajar. Secara sadar atau tidak, proses pembakuan prosedur mengajar ini mematikan kreativitas guru. Akibat lebih jauh adalah pekerjaan mengajar bersifat inhuman, diperlakukan sebagai suatu bagian dalam proses industri, yang dapat dikendalikan dan diatur dengan serangkaian Juklak dan Juknis. Kematian kreativitas guru sebagai suatu kehilangan yang patut ditangisi. Sebab, kreativitas adalah merupakan "ruh" dalam proses belajar mengajar.
 
B. Dimensi mengajar
 
Proses transfer pengetahuan atau sering dikenal dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) memiliki dua dimensi. Pertama adalah aspek kegiatan siswa: Apakah kegiatan yang dilakukan siswa bersifat individual atau bersifat kelompok. Kedua, aspek orientasi guru atas kegiatan siswa: Apakah difokuskan pada individu atau kelompok. Berdasarkan dua dimensi yang masing-masing memiliki dua kutub tersebut terdapat empat model pelaksanaan PBM. Pertama, apa yang disebut Self-Study. Yakni, kegiatan siswa dilaksanakan secara individual dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat individu. Model pertama ini memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa dapat memusatkan perhatian perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan  dari luar, yakni guru. Siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Untuk pelaksanaan model Self-Study ini perlu didukung dengan peralatan teknologi, seperti komputer. Keberhasilan model ini ditentukan terutama oleh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri.
 
Kedua, apa yang dikenal dengan istilah cara mengajar tradisional. Model ini memiliki aktivitas siswa bersifat individual dan orientasi guru mengarah pada kelompok. Pada model ini kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yang diceramahkan guru. Seberapa jauh siswa dapat mendengar apa yang diceramahkan guru tergantung pada ritme guru membawakan ceramah itu sendiri. Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang didengar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki apabila siswa dapat mengkaitkan pengetahuan dengan apa yang diingat. Model ini sangat sederhana, tidak memerlukan dukungan teknologi, cukup papan tulis dan kapur. Keberhasilan model ini banyak ditentukan oleh otoritas guru.
 
Ketiga, apa yang disebut model Persaingan. Model ini memiliki aktivitas yang bersifat kelompok, tetapi orientasi guru bersifat individu. Model ini menekankan partisipasi siswa dalam kegiatan PBM, semua siswa harus aktif dalam kegiatan kelompok tersebut. Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan akan ditentukan oteh seberapa jauh kegiatan memiliki kebebasan dan dapat membangkitkan semangat kompetisi. Pengetahuan yang diperoleh dan dapat dihayati merupakan hasil diskusi dengan temannya. Model ini memerlukan teknologi baik berupa alat ataupun berupa manajemen seperti bentuk konferensi dan seminar. Keberhasilan model ini terutama ditentukan oleh adanya saling hormat dan saling mempercayai di antara siswa. CBSA, merupakan salah satu contohnya.
 
Keempat, apa yang dikenal dengan istilah Model Cooperative-Collaborcitive. Model ini memiliki aktivitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru juga bersifat kelompok. Model ini menekankan kerjasama di antara para siswa, khususnya. Kegiatan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah merupakan konsensus di antara mereka. Konsensus ini didasarkan pada nilai-nilai yang dihayati bersama. Oleh karena itu, dalam kelompok akan senantiasa dikembangkan pengambilan keputusan. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga di arahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.
 
Keempat model tersebut tidak ada yang lebih baik satu atas yang lain. Sebab modal mengajar yang baik adalah model mengajar yang cocok dengan karakteristik materi, kondisi siswa, kondisi lingkungan dan kondisi fasilitas. Di samping itu pula, di antara keempat model tersebut tidaklah bersifat saling meniadakan. Artinya, sangat mungkin dalam mengajar memadukan berbagai model tersebut di atas.
 
Keempat model tersebut pada intinya menekankan bahwa dalam proses belajar mengajar apa yang dilaksanakan memiliki empat aspek, yakni: a) menyampaikan informasi, b) memotivasi siswa, c) mengkontrol kelas, dan, d) merubah social arrangement.
 
C. Kemampuan yang dibutuhkan
 
Agar dapat melaksanakan empat langkah tersebut di atas, guru hanya memerlukan tiga kemampuan dasar, yakni a) didaktik, yakni kemampuan untuk menyampaikan sesuatu secara oral atau ceramah, yang dibantu dengan buku teks, demontrasi, tes, dan alat bantu tradisional lain; b) coaching, di mana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan mempraktikan keterampilannya, mengamati sejauh mana siswa mampu mempraktekkan keterampilan tersebut, serta segera memberikan umpan balik atas apa yang dilakukan siswa; dan, c) socratic atau mauitic question, di mana guru menggunakan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa mengembangkan pandangan dan internalisasi terhadap materi yang dipelajari. Tanpa menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, ibaratnya pemain sepakbola yang tidak memiliki kemampuan dasar bermain bola, seperti bagaimana menendang atau heading yang baik dan benar, betapapun dididik dengan gaya samba Brazil atau gerendel Italia tetap saja tidak akan dapat memenangkan pertandingan. Demikian pula untuk guru, tanpa memiliki tiga kemampuan dasar tersebut, betapapun para guru dilatih berbagai metode mengajar yang canggih tetap saja prestasi siswa tidak dapat ditingkatkan. Sebaliknya, dengan menguasai tiga kemampuan dasar tersebut, metode mengajar apapun akan dapat dilaksananakan dengan mudah oleh yang bersangkutan. Sudah barang tentu apabila guru telah menguasai dengan baik materi yang akan disampaikan.
 
Sudah saatnya posisi mengajar diletakan kembali pada profesi yang tepat, yakni sebagai soft profession, di mana unsur art dan sense memegang peran yang amat penting. Oleh karena itu, untuk pembinaan dan pengembangan profesional kemampuan guru yang diperlukan bukannya instruksi, juklak dan juknis serta berbagai pedoman lain,  yang cenderung akan mematikan kreativitas guru. Melainkan, memperbaiki dan meningkatkan tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana tersebut di atas, serta memberikan kebebasan kepada guru untuk berinovasi dalam melaksanaakan proses belajar mengajar.

 (sumber: http://pakguruonline.pendidikan.net)

Pendidikan Berwawasan Global


Krisis demi krisis mulai dari moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat sehingga menimbulkan dampak yang berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat menjadi mode, misalnya.
 
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
 
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh  Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the Third Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent world".
 
A. Perspektif kurikuler
 
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c) mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
 
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.
 
Berdasarkan perspektif kurikuler ini,pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.
 
B. Perspektif reformasi
 
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.
 
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
 
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci.
 
Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
 
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment. Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
 
Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.
 
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.

 (sumber: http://pakguruonline.pendidikan.net)






Sabtu, 09 April 2011

KEKUATAN YANG HARUS DIBANGKITKAN DARI SEORANG GURU

Setiap guru tentu mempunyai keinginan untuk dapat melaksanakan tugasnya (mengajar) dengan sebaik-baiknya. Tapi dalam kenyataannya untuk mencapai tujuan yang mulia itu tidaklah mudah. Guna mencapai tujuan yang diinginkan tersebut diperlukan tenaga, energi, dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, khususnya siswa (anak didik). Guru yang baik dan terampil memiliki sifat-sifat serta kemampuan mempengaruhi, dan dapat memanfaatkannya dengan memadukan dengan strategi pembelajaran.
Seorang guru dapat dikatakan mempunyai kekuatan kalau kedudukannya sebagai pengajar dapat mengajar secara dinamis, mampu mengajar dengan rasa kasih sayang, dan penuh kesabaran. Jika seorang guru dapat melaksanakan yang demikian pasti mereka dapat mempengaruhi anak didiknya, karena guru adalah salah satu faktor penentu masa depan bagi anak didiknya.
Seiring dengan pengaruhnya yang luar biasa, seorang guru mempunyai tanggungjawab yang besar. Tak dapat kita bayangkan kalau seorang guru mengajarkan suatu konsep yang salah, atau seorang guru menyampaikan sesuatu yang membuat anak didiknya salah tafsir, dan yang lebih parah lagi kalau seorang guru dapat mematikan semangat belajar siswanya. Apakah ini tidak sebuah mal praktik dalam dunia pendidikan? Maka sangat pantaslah kalau pemerintah meletakkan jabatan seorang guru sebagai jabatan professional yang memerlukan keahlian khusus. Dan pekerjaan mengajar bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh semua orang, akan tetapi harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dibidangnya.
Adalah hal yang biasa, bahkan bagi seorang guru terbaik sekalipun untuk mengatakan bahwa kemampuan mereka belum sempurna, untuk meneliti serta melakukan koreksi atas kekurangan mereka, dan secara kritis menilai kemampuan mereka sebagai pendidik. Seorang guru perlu bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka sudah memiliki sifat atau ciri, kemampuan serta strategi untuk mengajarkan teknologi yang berkembang begitu cepat? Mungkin kita semua merasakan keragu-raguan yang sama seperti itu.
Walaupun berbagai kekurangan yang dirasakan, para guru haruslah dapat menunjukkan kekuatan pribadi mereka dan mempraktikkan strategi pengajaran yang baik di kelas setiap hari. Kita sebagai seorang guru harus lebih banyak lagi belajar mendekati anak-anak dengan memberikan perintah, dengan menjadi model dan dapat membimbing mereka dengan hati dan jiwa yang tulus, menggunakan alat apa saja, sumber dari manapun, dan dengan menggunakan keterampilan pribadi yang kita miliki.
Untuk memperoleh kemampuan agar dapat mengajar dengan baik dan mempengaruhi orang lain dengan baik sebenarnya berasal dari dalam diri kita. Keterampilan ini bukan hanya diperoleh dari latihan-latihan teknik yang diajarkan di sekolah keguruan, tetapi lebih dari itu. Kalau seorang guru telah mengajar dengan baik dapat dibaratkan orang yang menyalakan api, dimana semakin lama api tersebut menjadi semakin besar. Mengajar dengan baik akan membuat para siswa merasa senang untuk belajar dan membiarkan mereka terus berkembang. Bila kondisi seperti ini dapat diciptakan guru maka para siswa selalu menantikan pelajaran dimulai dan tidak ingin berhenti. Ini dapat terjadi kalau guru yang mengajar dapat menunjukkan kemampuan pribadi dan kemampuan profesionalnya dengan baik.
Mustahil rasanya para guru dapat menunjukkan kemampuan profesionalnya tanpa harus memiliki kemampuan pribadi terlebih dahulu. Menurut Kathy Paterson (2007) kemampuan pribadi mungkin dapat diartikan sebagai pengawasan atas diri mereka (guru), bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, dan pribadi seperti apa yang mereka tunjukkan di hadapan para siswa, serta bagaimana falsafah mereka terhadap pendidikan. Sedangkan kemampuan professional lebih mengarah pada mutu atau keunggulan dalam mengajar, membimbing serta mempengaruhi para siswa. Kemampuan ini mungkin dapat dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan strategi yang efektif sehingga merangsang dan mendorong para siswa untuk belajar. Dalam kehidupan sehari-hari, guru-guru yang memiliki kemampuan pribadi akan menunjukkan kepribadian yang posistif, hasilnya akan dapat dilihat pada perilaku siswa mereka. Dan guru yang memiliki kemampuan professional hasilnya akan nampak pada keberhasilan siswanya dibidang akademis.
Selain kekuatan yang harus dimiliki, seorang guru harus dapat memperhatikan atau memberi perhatian pada orang lain. Kita semua tahu bahwa guru selalu memberi perhatian kepada siswanya, walaupun adakalanya perhatian itu tidak tampak atau terselubung oleh sederetan beban tugas dan tanggungjawab rutinnya. Dalam keadaan beban yang menumpuk serta tanggungjawab yang berat, dapat terjadi guru yang biasanya berpenampilan riang, suka menghibur, bersikap empati, toleran, mungkin saja akan berubah menjadi wajah yang muram atau marah-marah, frustasi, atau malas-malasan. Apabila sifat suka memperhatikan orang lain yang ada pada guru menurun, akan berakibat pada melemahnya penghargaan terhadap diri sendiri, dan sebagai akibatnya sikap hormat anak didik pun akan ikut berkurang. Oleh karena itu kita sebagai guru perlu membangkitkan kembali kekuatan pribadi kita.
Menurut Kathy Paterson ada 5 kekuatan pribadi yang perlu dibangkitkan pada diri seorang guru yaitu:

1. KEGEMBIRAAN
Bila guru menampilkan sikap serta wajah yang ceria (walaupun ini bukanlah perasaan yang sedang ia rasakan pada saat itu) murid-murid juga akan merasakan keceriaan itu dan pelajaran akan berjalan dengan lancar. Orang pada umumnya, khususnya para siswa akan suka berada di sekitar orang-orang yang menunjukkan serta memberikan suasana keceriaan, dan guru juga akan mendapatkan keuntungan karena ia akan hemat energi, sehat, tenang, serta didukung sikap positif para siswa.

2. RASA KASIHAN YANG KUAT
Rasa kasihan yang kuat merupakan gabungan dari persahabatan, cinta kebaikan, pemahaman, dan kebijaksanaan yang muncul dari pemahaman bahwa orang lain itu “sedang menderita”. Seorang guru yang mempunyai rasa kasihan melakukan suatu tindakan yang nyata untuk memperbaiki nasib orang-orang lain dan mengajar dengan ketulusan hati. Ketulusan untuk memperhatikan kenyamanan atau kesejahteraan orang lain merupakan salah satu tolak ukur mutu yang sangat penting dari seorang pendidik.

3. EMPATI
Dalam dunia yang pertumbuhan teknologinya sangat cepat seperti sekarang ini, empati merupakan salah satu sifat atau ciri yang sangat kuat yang dimiliki para guru. Dengan pemahaman yang murni dan kepekaan akan situasi orang lain, dipandang perlu untuk mengefektifkan pengajaran. Pemahaman yang murni serta kepekaan akan situasi orang lain akan mengangkat keinginan dan kemampuan guru untuk masuk ke dalam situasi atau kondisi kehidupan para siswanya, dan hal tersebut dilakukan sebelum para guru memberikan nasehat pada anak didiknya.

4. TOLERANSI
Toleransi merupakan kemampuan untuk memperhatikan para siswa  dan melihat mereka sebagaimana adanya serta memperlakukan mereka semua dengan rasa hormat. Toleransi mencerminkan suatu pemahaman yang stereotip atau perlakuan terhadap siapapun secara tidak adil yang berpengaruh pada proses belajar, pertumbuhan, dan penghargaan diri. Toleransi, yang berfungsi untuk membantu membangun hubungan, memungkinkan para guru untuk melakukan pendekatan dan pengajaran terhadap para siswa. Toleransi dapat membawa rasa damai dalam hati, dapat menghantarkan keberhasilan dalam pelajarandan memberikan kesempatan para siswa untuk memberikan tanggapan yang berbeda.

5. RASA HORMAT
Guru sepenuhnya menyadari bahwa mereka harus menghormati atau menghargai siswanya apabila mereka ingin dihormati atau dihargai. Tetapi untuk menghargai mereka bagaimana caranya? Apakah penghargaan dan rasa hormat itu harus ditunjukkan secara visual? Kita tahu akan pentingnya sikap hormat dan menghargai itu, lebih-lebih dalam pengajaran. Dengan sikap menghormati dan menghargai maka kegembiraan, kepercayaan diri akan semakin meningkat dan perilaku siswa yang baik juga akan ditunjukkan kepada kita. Memperlakukan orang lain dengan memberikan rasa hormat merupakan tanda atau bentuk perhatian, dan hal ini merupakan bentuk pengajaran yang baik.

Sekedar Hiburan