Sabtu, 20 Oktober 2012

SIAPKAH KITA (GURU) MENYAMBUT PERMENPAN dan RB No. 16 Tahun 2009?



Mulai Januari 2013 nanti akan diterapkan peraturan baru tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya yang baru berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 16 tahun 2009. Petunjuk Teknisnya telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010. Banyak perubahan terjadi dalam peraturan baru tersebut, mulai dari perekrutan calon guru, program induksi bagi guru baru dan juga berkaitan dengan kenaikan pangkat jabatan guru.
Perekrutan guru baru harus berijazah S1 dan telah memiliki sertifikat sebagai guru profesional (lulusan PPG atau Pendidikan profesi Guru) yang sesuai dengan bidang tugasnya. Kemudian setelah diterima sebagai guru baru, ia harus menjalani program induksi selama 1 tahun di lapangan dan setelah dinyatakan lulus baru dia ditetapkan sebagai guru pertama dengan golongan pangkat III/a dan berhak mendapatkan tunjangan profesi guru.
Hal ini mungkin tidak menjadi masalah, karena memang hal itu menjadi program baru yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Masalah baru akan muncul ketika guru akan mengalami kenaikan jabatan dan pangkatnya. Karena selama ini guru telah nyaman dengan sistem yang berlaku selama ini yaitu Permen PAN No. 84 Tahun 1993. Selama ini hampir semua guru dapat naik pangkat dengan lancar rata-rata 2 atau 3 tahun sekali. Dalam peraturan baru yang akan diberlakukan mulai Januari 2013 ini nanti hampir dapat dipastikan tidak akan ada guru yang dapat naik jabatan/pangkat dalam waktu 2 tahun. Hal itu disebabkan karena adanya beberapa ketentuan baru.
Dalam peraturan baru tersebut antara lain terdapat keharusan adanya karya ilmiah (PTK)dan/atau karya inovatif dalam setiap kenaikan pangkat sejak dari golongan III/b ke atas, dan penyusunan karya ilmiah paling banyak yang boleh dilakukan guru adalah 1 tahun 2 karya ilmiah. Bobot karya ilmiah tersebut maksimal 4 dan penilaiannya hanya didasarkan atas memenuhi persyaratan atau tidak, jika memenuhi angka kreditnya 4, dan jika tidak 0. Setiap karya ilmiah tersebut dianggap memenuhi persyaratan jika telah diseminarkan minimal di tingkat sekolah dengan mengundang sekolah dalam gugus (KKG atau MGMP) yang melibatkan paling kurang 3 sekolah atau dimuat dalam jurnal ilmiah. Inilah kendala kebiasaan yang tidak biasa dilakukan oleh guru. Di samping itu ada penilaian kinerja guru yang mencakup 4 kompetensi, yaitu pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang dilakukan 1 tahun sekali untuk menentukan angka kredit dari unsur pendidikan-pengajaran. Hasil penilaian kinerja tersebut sangat menentukan besarnya angka kredit pendidikan-pengajaran. Jika guru mendapatkan hasilpenilaian kinerja sangat baik, maka nilai kreditnya dikalikan 125%, jika baik dikalikan 100 %, jika cukup dikalikan 75%, jika kurang dikalikan 50%, dan jika sangat kurang dikalikan 25%. beban mengajar guru yang diwajibkan antara 24 - 40 jam perminggu.
Masih menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, Penilaian Kinerja Guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Penguasaan kompetensi dan penerapan pengetahuan serta keterampilan guru, sangat menentukan tercapainya kualitas proses pembelajaran atau pembimbingan peserta didik, dan pelaksanaan tugas tambahan yang relevan bagi sekolah/madrasah, khususnya bagi guru dengan tugas tambahan tersebut. Sistem Penilaian Kinerja Guru adalah sistem penilaian yang dirancang untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya melalui pengukuran penguasaan kompetensi yang ditunjukkan dalam unjuk kerjanya.
Secara umum, Penilaian Kinerja Guru memiliki dua fungsi utama sebagai berikut :
  1. Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Dengan demikian, profil kinerja guru sebagai gambaran kekuatan dan kelemahan guru akan teridentifikasi dan dimaknai sebagai analisis kebutuhan atau audit keterampilan untuk setiap guru, yang dapat dipergunakan sebagai basis untuk merencanakan Penilaian Kerja Berkelanjutan.
  2. Untuk menghitung angka kredit yang diperoleh guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Kegiatan penilaian kinerja dilakukan setiap tahun sebagai bagian dari proses pengembangan karir dan promosi guru untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya
Hasil Penilaian Kinerja Guru diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan berbagai kebijakan yang terkait dengan peningkatan mutu dan kinerja guru sebagai ujung tombak pelaksanaan proses pendidikan dalam menciptakan insan yang cerdas, komprehensif, dan berdaya saing tinggi. Penilaian Kinerja Guru merupakan acuan bagi sekolah/madrasah untuk menetapkan pengembangan karir dan promosi guru. Bagi guru, Penilaian Kinerja Guru merupakan pedoman untuk mengetahui unsur-unsur kinerja yang dinilai dan merupakan sarana untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan individu dalam rangka memperbaiki kualitas kinerjanya.
Penilaian Kinerja Guru dilakukan terhadap kompetensi guru sesuai dengan tugas pembelajaran, pembimbingan, atau tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Khusus untuk kegiatan pembelajaran atau pembimbingan, kompetensi yang dijadikan dasar untuk penilaian kinerja guru adalah kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007. Keempat kompetensi ini telah dijabarkan menjadi kompetensi guru yang harus dapat ditunjukkan dan diamati dalam berbagai kegiatan, tindakan dan sikap guru dalam melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan. Sementara itu, untuk tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, penilaian kinerjanya dilakukan berdasarkan kompetensi tertentu sesuai dengan tugas tambahan yang dibebankan tersebut (misalnya; sebagai kepala sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah/madrasah, pengelola perpustakaan, dan sebagainya sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009.
Penilaian Kinerja Guru (PKG) juga akan berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2013 sebagaimana Permendiknas 35/2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 tahun 2009 mengisyaratkan bahwa untuk kenaikan pangkat dan golongan guru perlu dilakukan Penilaian Kinerja Guru. Penilaian Kinerja Guru (PKG) adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya. Dalam Penilaian Kinerja Guru (PKG), Guru wajib mencatat dan menginventarisasikan seluruh kegiatan yang dilakukan. Penilaian Kinerja Guru (PKG) terhadap Guru dilakukan minimal satu kali dalam setahun. Penilaian Kinerja Guru (PKG) untuk kenaikan pangkat Guru yang akan dipertimbangkan untuk naik pangkat dilakukan minimal dua kali dalam  satu tahun,  yaitu tiga bulan sebelum periode kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil. Penilaian Kinerja Guru (PKG) menggunakan instrumen yang didasarkan kepada:  14 kompetensi bagi guru kelas dan/atau mata pelajaran; 17 kompetensi bagi guru BK/konselor, dan pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah (Kepsek, Wakasek, dsb.) Apa sajakan yang 14 kompetensi itu ? Kompetensi yang dinilai adalah kompetensi pedagogik ada tujuh diantaranya :
  1. Menguasaan karakteristik peserta didik
  2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
  3. Pengembangan kurikulum
  4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik
  5. Pengembangan potensi peserta didik
  6. Komunikasi dengan peserta didik
  7. Penilaian dan evaluasi
Kompetensi Kepribadian ada tiga diantaranya :
  1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hokum social, dan kebudayaan nasional
  2. Menunjukan pribadi yang dewasa dan teladan
  3. Etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru
Kompetensi Sosial ada dua diantaranya :
  1. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif
  2. Komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikanm orang tua, peserta didik dan masyarakat
Kompetensi professional ada dua diantaranya :
  1. Penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu
  2. Mengembangkan keprofesionalan mealui tindakan yang eflektif
Selain itu, dalam Permen ini mengisyaratkan pula pentingnya kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dilaksanakan dalam upaya mewujudkan guru yang profesional, bermatabat dan sejahtera; sehingga guru dapat berpartisifasi aktif untuk membentuk insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian. Pengembangan Keprofesian Guru mencakup tiga kegiatan: (1) Pengembangan Diri; (2) Publikasi Ilmiah, dan (3) Karya Inovatif.
Tujuan umum Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)  yaitu untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Sedangkan tujuan khusus Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah:
  • Memfasiltasi guru untuk mencapai standar kompetensi profesi yang telah ditetapkan.
  • Memfasilitasi guru untuk terus memutakhirkan kompetensi yang mereka miliki sekarang dengan apa yang menjadi tuntutan ke depan berkaitan dengan profesinya.
  • Memotivasi guru-guru untuk tetap memiliki komitmen melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.
  • Mengangkat citra, harkat, martabat profesi guru, rasa hormat dan kebanggaan kepada penyandang profesi guru.
Dengan diharuskannya karya ilmiah (Laporan PTK)dan/atau karya inovatif dalam setiap kenaikan pangkat sejak dari golongan III/b ke atas, Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) akan memunculkan permasalahan dalam kenaikan jabatan guru. Guru yang dapat hasil penilaian kinerja sangat baik pun diperkirakan akan dapat naik pangkat paling cepat 3 - 4 tahun dengan catatan aktif dalam menulis karya ilmiah dan karya inovatifnya, guru yang penilaian kinerjanya dalam kategori baik bisa naik pangkat antara 5 - 7 tahun, yang kategori sedang kemungkinan baru naik pangkat sekitar 8 - 10 tahun atau lebih. Pada hal ancaman pertauran baru tersebut, jika guru dalam waktu tertentu tidak naik pangkat atau pangkatnya mengalami stagnasi, maka hak-hak sebagai guru yang berkaitan dengan tunjangan kemaslahatan guru (tunjangan fungsional dan tunjangan profesi guru) akan dicabut. Pertanyaannya adalah “Siapkah kita menerima konsekuens itu?”

Selasa, 01 Mei 2012

Guru, Penentu Nasib Sebuah Peradaban


Dalam memperingati Hardiknas 2 Mei 2012 ini, marilah kita berinstropeksi dan merenungkan.. apakah sebagai guru kita telah mampu mejadikan murid-murid kita sebagai manusia yg beradab,..???.... apakah sebagai pendidik kita telah memberikan contoh sebagai manusia yg beradab.... ???.... semuanya terpulang dengan apa yg telah kita berikan dan abdikan sebagai orang yang pantas di gugu dan di tiru sekaligus sebagai Pencerdas Bangsa...

Sejarah dunia mencatat, ketika pertama kali Jepang menghadapi kekalahan di perang dunia ke II karena 2 kota sentral di Negara tersebut (Hiroshima dan Nagasaki) hancur karena di bom atom oleh pasukan sekutu pada waktu itu. Sang kaisar Jepang, Hirohito dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya kepada pusat informasi, berapa jumlah guru yang masih hidup? Luar biasa!. Begitu pahamnya sang pemimpin akan fungsi guru. Dia tidak putus asa karena negeri yang dipimpinnya hancur lebur. Dia tidak khawatir Jepang akan hancur, selama guru masih banyak yang hidup. Memang tidaklah aneh, hanya dalam waktu yang singkat, Jepang sudah kembali seperti semula sebagai negara maju, salah satunya berkat memaksimalkan fungsi guru/pendidikan.

Kita semua sepakat, bahwa maju mundurnya sebuah Negara atau peradaban ditentukan oleh sejauh mana kualitas pendidikan di Negara tersebut, dan kualitas pendidikan tergantung dari seberapa besar pengaruh seorang guru dalam memberikan pendidikan, baik itu dari segi keilmuan maupun teladan kepada siswa-siswanya. Karena disadari atau tidak, tanpa harus memberikan contoh secara langsung kepada siswa, setiap gerak-gerik, tingkah, dan ucapan seorang guru merupakan objek yang akan selalu diperhatikan oleh siswa-siswanya.

Seorang Bapak Pendidikan dari Vietnam Ho Chi Min mengatakan, “No teacher No education. No education, no economic and social development”. Begitu tingginya arti seorang guru bagi pembelajaran sebuah bangsa atau negara. Tanpanya bangsa dan negara ini tidak akan maju dan makmur. Tanpanya tunas-tunas penerus bangsa tak akan terdidik atau bangkit untuk membangun bangsa dan negaranya.

Saat ini, negara Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki adab ketimuran semakin hari semakin memudar, kita bisa melihat di media-media baik cetak maupun eletronik, setiap hari bangsa kita disuguhi oleh tayangan dan adegan yang jauh dari unsur pendidikan yang baik bagi pertumbuhan generasi penerus bangsa ini. Pertanyaannya, sejauh mana peran guru sebagai pendidik bangsa membendung arus negatif yang secara perlahan mengancurkan bangsa dan Negara ini? Jangan sampai ketika generasi penerus bangsa ini kehilangan panutan dalam menentukan sikap, para guru atau tenaga pendidik di Negara ini malah terseret arus negative tersebut, artinya turut memberikan contoh yang tidak baik kepada siswa-siswanya.

Setidaknya ada beberapa sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru atau tenaga pendidik dalam rangka memberikan teladan yang baik bagi siswa-siswanya. diantaranya;

1. Ikhlas,....... Keikhlasan merupakan ujung tombak dari sebuah amalan. Jika seseorang ikhlas, maka amalannya akan diterima, sebaliknya jika tujuannya bukan karena Allah maka amalannya sia-sia.
Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata; “Meninggalkan suatu amalan karena manusia adalah riya', beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah mengerjakan dan meninggalkan suatu amalan karena Allah semata,”.

2. Jujur dan Amanah,...... Kejujuran merupakan mahkota bagi guru. Jika tidak ada kejujuran, maka tidak akan percaya semua manusia terhadap ilmunya. Wajar bila seorang murid akan menerima apa saja yang diajarkan oleh gurunya, sehingga apabila seorang murid mengetahui akan kebohongan gurunya, maka kepercayaan murid akan berbalik arah (tidak percaya lagi), atau bahkan kebohongan itu dapat menjatuhkan prestise seorang guru di mata anak dididiknya.

Rasulullah mengisyaratkan; “Kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Seorang yang baik akan berlaku jujur dan memilih kejujuran, sehingga Allah menuliskan ia menjadi orang-orang yang jujur. Kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan mengantarkan kepada neraka. Seorang yang durhaka, akan berbuat bohong dan memilih untuk berbohong, sehingga Allah mengecap dia sebagai pembohong.” (Muttafaqun 'Alaih).

3. Kesamaan antara ucapan dan tindakan,...... Rasulullah senantiasa menyuruh para shahabatnya berbuat kebaikan, beliau orang yang pertama melakukan hal itu. Rasul juga melarang berbuat kejahatan, dan beliau pula orang yang pertama menjauhi larangan itu. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. As-Shaf/61: 2-3).

4. Adil dan Egaliter,....... Guru harus bersikap adil dan arif di depan anak muridnya, baik dalam membagikan tugas atau kewajiban lainnya. Guru tidak boleh mengistimewakan seseorang dari yang lainnya, hanya karena hubungan kerabat. Jika itu terjadi berarti ia menzhalimi murid-muridnya yang lain.

Sikap seperti ini pernah dilakukan Rasulullah ketika Usamah bin Zaid berusaha meminta keringanan untuk Al-Makhzumiyah ketika ia melakukan pencurian. Maka Rasulullah bersabda, “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Betapa konsisten Nabi dengan prinsip keadilan sekalipun mengenai diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang paling beliau cintai. (Nawwal Ath-Thuwairaqi dalam Sekolah Unggulan Berbasis Sirah Nabawiyah).

5. Berakhlak Mulia,..... Tidak diragukan lagi bahwa sikap dan tutur kata yang baik dapat berpengaruh pada jiwa, melunakkan hati serta menghilangkan kedengkian dalam dada. Begitu pula sikap yang ditampakkan oleh guru, bisa positif dan negatif. Positif karena memang sikap dan wajah cerianya dapat menyenangkan hati, dan negatif karena sikap dan wajah masamnya tidak menyenangkan.

Rasulullah adalah sebaik-baik manusia, baik fisik maupun jiwanya. Bahkan beliau adalah sebagus-bagusnya orang yang berbudi pekerti. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S. Al-Qolam/68:4). Beliau bukanlah orang yang bersikap dan bertutur kata yang keras dan kasar, melainkan orang yang lemah lembut, toleran dan penyayang terhadap umatnya.

Maka sepantasnya, seorang guru mengikuti keteladanan guru terbaik Rasulullah Saw. dalam berperilaku serta berakhlak mulia, dimana berakhlak mulia itu merupakan media yang sangat berguna untuk memberikan suatu pelajaran terhadap anak murid. Sebab pada umumnya seorang murid berperilaku seperti perilaku gurunya.

6. Sabar dan Mengekang Hawa Nafsu,..... Rasulullah merupakan pendidik yang sangat penyabar dan lembut kepada para shahabatnya, bahkan kepada para musuhnya. Beliau tidak pernah marah, kecuali jika terjadi pengabaian dan pelecehan dalam hukum-hukum Allah atau tindakan buruk terhadap Islam.

Seorang guru pasti bergaul dengan anak muridnya yang memiliki watak dan pemikiran berbeda. Karena itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan bertanggung jawab. Tidak adanya kesabaran bagi guru akan berdampak negatif pada psikologinya. Perlu diketahui, bahwa kesanggupan bersabar dan menahan amarah merupakan tanda kekuatan seorang guru. Allah berfirman: “…dan orang-orang yang menahan amarahnya serta mema'afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Imran/3:134). Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: “Kekuatan bukanlah ketika ia mampu mengusai manusia, akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Muttafaqun Alaih)

7. Baik Dalam Tutur Kata,...... Perkataan yang tidak baik, kotor, penuh cacian serta memperolok-olok orang lain merupakan tindakan yang tidak disukai, terlebih-lebih bagi seorang guru. Selain watak tersebut memalukan, juga berdampak buruk bagi orang lain, terutama muridnya.

Diantara perkataan-perkataan yang harus dihindari adalah:
a. Memperolok-olok orang lain
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al-Hujurat/49: 11)

Demikian pula penghinaan terhadap murid, itu tidak akan terjadi kecuali bagi pendidik yang dirinya dipenuhi oleh perilaku yang buruk dan tercela, tidak mempunyai budi pekerti dan etika. Rasulullah bersabda: “Seorang akan dianggap buruk, ketika ia menghina saudaranya.”

b. Umpatan dan Cacian
Dari Ibnu Mas'ud ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Mencaci maki orang muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kafir.” (HR. Bukhari).

c. Perkataan keji dan kotor
Dari Ibnu Mas'ud ra., Nabi bersabda: “Tidaklah seorang mukmin itu berlaku zhalim, mencaci, berkata kotor dan tidak pula berkata keji”. (HR. Bukhari).

Menciptakan Suasana Keakraban, Demi terciptanya suasana keakraban dalam belajar, seorang guru harus mampu mencairkan suasana tersebut sehingga dapat mengusir kejenuhan. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah dengan para shahabatnya. Abu Hurairah ra. berkata: “mereka para shahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah! Hendaknya engkau mencandai kita?” Beliau menjawab: “baik, namun tidaklah aku bercanda melainkan berkata benar.”

Artinya adalah, rasulullah saw. menyempatkan diri berguyon dengan para shahabat namun tidak berlebihan dalam rangka sekedar menghilangkan kepenatan dan kejenuhan.

Imam Nawawi berkata; “Ketahuilah bahwa humor yang dilarang yaitu humor yang keterlaluan dan sering dilakukan, karena hal itu dapat mengeraskan hati, lupa mengingat Allah dan hal-hal keagamaan yang penting, banyak menyia-nyiakan waktu, melahirkan dendam serta dapat menjatuhkan kewibawaan. Sedangkan humor yang biasa saja, hal itu boleh saja, karena Rasulullah juga pernah melakukan hal itu demi untuk kebaikan agar terkesan familiar. Hal itu merupakan sunnah nabi dan merupakan suatu yang sangat dibutuhkan oleh guru ketika memberikan materi kepada anak muridnya.” (Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi).

Sifat dan sikap seperti itulah yang memang sudah seharusnya dimiliki oleh para guru, setidaknya setiap guru selalu berusaha maksimal untuk menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya. Karena tidak ada contoh yang paling cepat ditiru selain sikap dan tingkah laku seorang guru yang disaksikan oleh para muridnya. Dan kita berharap kelak Negara yang yang kita cintai ini akan menemukan jati diri sebenanrnya sebagai bangsa yang beradab dan memiliki adat ketimuran melalui guru dan tenaga pendidik yang berkualitas. Wallahu’alam.

Disarikan dari Artikel Adi Fikri Humaidi

Jumat, 24 Februari 2012

Menjadi Guru adalah Profesi Hati


Kita semua sadar bahwa guru berada di garda depan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka telah melahirkan banyak manusia pintar, seperti dokter, polisi, tentara, para ilmuan, menteri, sampai presiden. Bahkan guru juga melahirkan guru yang akan meneruskan generasi yang mencerdaskan bangsanya. Tidak heran apabila guru dielu-elukan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Zaman memang telah berubah. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budi dan cerahnya akal budi nyaris luntur tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung memanjakan nilai konsumtivisme dan materialisme. Banyak orang yang makin cuek dan masa bodoh terhadap keagungan nilai kejujuran, keuletan, atau kebersahajaan. Sukses seseorang pun semata-mata dinilai dari kemampuannya menumpuk harta, tanpa memedulikan dari mana harta itu diperoleh.
Dalam kondisi zaman yang makin memberhalakan gebyar duniawi semacam itu, profesi dan ekonomi guru secara sosial harus mendapatkan perhatian. Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugas dan fungsiya secara profesional kalau masih dibebani oleh tetek bengek urusan perut. Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugasnya dengan tenang dan nyaman kalau harus terus memikirkan keluarganya yang sakit akibat minimnya jaminan kesehatan. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mengikuti laju informasi yang demikian cepat kalau tak sanggup langganan koran atau internet. Padahal, dunia ilmu pengetahuan dan informasi terus berkembang. Bagaimana bisa membikin siswa didiknya cerdas kalau dirinya sendiri buta informasi dan  gagap teknologi. Tidak berlebihan jika pada akhirnya mutu pendidikan di negeri ini hanya “jalan di tempat”, bahkan mengalami kemunduran.
Mungkin inilah gambaran yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (dimasa Bapak Fasli Djalal menjadi Dirjen-nya). Menurutnya, terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Kondisi ini jelas amat kontras dengan mutu pendidikan di negeri jiran yang dulu menimba ilmu kepada bangsa kita. Konon, guru-guru di negeri jiran, seperti Malaysia atau Singapura bisa hidup lebih dari cukup hanya dengan mengandalkan penghasilannya sebagai guru. Para penguasa negeri itu benar-benar memosisikan guru pada aras yang mulia dan terhormat dengan memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan, dan perlindungan hukum yang amat memadai. Implikasinya, mutu pendidikan di negeri itu melambung bak meteor, makin jauh meninggalkan dunia pendidikan kita yang nyaris tak pernah bergeser dari keterpurukan. Hal itu bisa dilihat dari kualitas HDI (Human Development Index) negeri-negeri tetangga yang jauh berada di atas kita.


Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen nampaknya membawa angin segar bagi guru dan dosen. Setidaknya, pemerintah sudah menunjukkan kemauan politik untuk mengangkat harkat dan martabat guru pada posisi yang lebih terhormat. Dalam pasal 14 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Apakah yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum? Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Bahasa sederhananya, ke depan seorang guru profesional berhak mendapatkan tambahan penghasilan yang jumlahnya sangat “aduhai” untuk ukuran guru di Indonesia.
Bagi kebanyakan guru di Indonesia, tambahan penghasilan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan mengingat penghasilan guru di Indonesia pada umumnya relatif rendah. Rendahnya penghasilan guru di Indonesia semakin terasa apabila dibandingkan dengan penghasilan guru di negara yang kinerja pendidikannya relatif memadai seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat (AS).
Namun untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang “aduhai” itu bukanlah persoalan yang mudah. Dalam pasal 16, misalnya, ditetapkan bahwa (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Itu artinya, guru yang belum memiliki sertifikat pendidik jangan bermimpi untuk mendapatkan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok.
Sekarang sedang maraknya dilaksanakan uji kualifikasi dan kompetensi guru untuk mendapatkan selembar sertifikat pendidik profesional. Pertanyannya  adalah : Seandainya sudah banyak guru yang memiliki sertfikat profesi, apakah ada jaminan adanya peningkatan mutu pendidikan? Jika berkaca pada pengalaman negara-negara maju, program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru-guru mereka.
Menurut penulis, kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah pendidikan di Indonesia. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas. Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang kariernya.
Selain itu, guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.

Jumat, 20 Januari 2012

Pentingnya Uji Kompetensi Guru


Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral dalam pemerintahan, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara). Dengan demikian dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2001menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001). Hal ini juga diakui oleh Abdul Malik Fadjar (Mendiknas saat itu). Bagaimanakah setelah satu dasawarsa berlangsung? Apakah masih demikian?
Kemudian berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara ditambah wilayah khusus Hong Kong dan wilayah pendudukan Palestina yang diteliti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Data yang termuat dalam situs www.undp.org/hdr2004 terasa menyakitkan jika posisi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112).
Kalau kita berbicara soal pendidikan tentu tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
Tapi bagaimana kenyataan yang ada di lapangan sampai saat ini? Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini kebanyakan para guru dan sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. Terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. Padahal, dengan penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. Selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. Kurangnya penguasaan komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang kemampuan dan kemauan dari guru yang bersangkutan. Sehingga, komputer lebih banyak digunakan oleh bagian tata usaha. Akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
Pada saat ini sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
Untuk meningkatkan kualitas guru, menurut penulis selain sertifikasi guru yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai Perguruan Tinggi atau LPTK perlu dilakukan suatu sistem pengujian terhadap kompetensi guru. Hal ini sejalan dengan otonomi daerah yang sedang berjalan, maka untuk mendapatkan guru-guru yang berkompetensi baik maka daerah harus berani melakukan uji kompetensi guru.  Berdasarkan hasil uji kompetensi, guru-guru dapat dikelompokkan, misalnya kelompok tinggi (baik), kelompok  sedang, dan kelompok kurang. Untuk kelompok yang kurang dapat dijadikan sasaran untuk diberikan perhatian dan pembinaan agar kompetensi mereka dapat ditingkatkan. Dan bagi yang masuk kelompok tinggi dapat diberikan reward atau promosi. Selain dapat mengelompokkan guru, uji kompetensi guru juga dapat dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan rata-rata para  guru, aspek mana yang perlu ditingkatkan, dan siapa yang perlu mendapat pembinaan secara kontinu, serta siapa yang telah mencapai standar kemampuan minimal.
Menurut Mulyasa (2008), materi uji kompetensi guru dapat dijabarkan dari kriteria profesional. Kriteria fungsional jabatan guru mencakup fisik, kepribadian, keilmuan, dan keterampilan sebagai berikut:
1.      Kemampuan Dasar (Kepribadian)
a.       Beriman dan bertakwa
b.      Berwawasan Pancasila
c.       Mandiri penuh tanggung jawab
d.      Berwibawa
e.       Berdisiplin
f.       Berdedikasi
g.      Bersosialisasi dengan masyarakat
h.      Mencintai peserta didikdan peduli terhadap pendidikannya
2.      Kemampuan Umum (Kemampuan Mengajar)
a.       Menguasai  ilmu pendidikan dan keguruan yang mencakup:
1)      Psikologi pendidikan
2)      Teknologi pendidikan
3)      Metodologi pendidikan
4)      Media pendidikan
5)      Evaluasi pendidikan
6)      Penelitian pendidikan
b.      Menguasai kurikulum yang mencakup:
1)      Mampu menganalisis kurikulum, merencanakan pembelajaran, mengembangkan silabus, dan mendayagunakan sumber belajar.
2)      Mampu melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode, kegiatan, dan alat bantu pembelajaran yang sesuai.
3)      Mampu menyusun program perbaikan (remedial) bagi peserta didik yang kurang mampu.
4)      Mampu menyususn program pengayaan (enrichment) bagi peserta didik yang pandai.
c.       Menguasai didaktik metodik umum
1)      Mampu menggunakan metode yang bervariasi secara tepat
2)      Mampu mendorong peserta didik bertanya
3)      Mampu membuat alat peraga sederhana
d.      Menguasai pengelolaan kelas
1)      Menguasai pengelolaan fisik kelas
2)      Menguasai pengelolaan pembelajaran
3)      Menguasai pengelolaan dan pemanfaatan pajangan kelas
e.       Mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi peserta didik.
1)      Mampu menyusun instrument penilaian kompetensi peserta didik dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik
2)      Mampu menilai hasil karya peserta didik, baik melalui tes maupun non tes (observasi, jurnal, portofolio)
3)      Mampu menggunakan berbagai cara penilaian, baik tertulis, lisan maupun perbuatan)
f.       Mampu mengembangkan dan aktualisasi diri.
1)      Mampu bekerja dan bertindak secara mandiri untuk memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
2)      Mampu berprakarsa, kreatif, dan inovatif, dalam mengemukakan gagasan baru, dan mempelajari, serta melaksanakan hal-hal baru.
3)      Mampu meningkatkan kemampuan melalui kegiatan membaca, menulis, seminar, lokakarya, melanjutkan pendidikan, studi banding, dan berperan serta dalam organisasi profesi.
3.      Kemampuan Khusus (Pengembangan Keterampilan Mengajar)
a.       Keterampilan bertanya
b.      Memberi penguatan
c.       Mengadakan variasi
d.      Menjelaskan
e.       Membuka dan menutup pelajaran
f.       Membimbing diskusi kelompok kecil
g.      Mengelola kelas
h.      Mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Selain yang disebutkan di atas, uji kompetensi guru juga dapat dimanfaatkan untuk  alat seleksi penerimaan guru. Seperti kita ketahui saat ini banyak calon guru yang mengantri menunggu pengangkatan, baik untuk dijadikan PNSmaupun guru tetap pada sekolah-sekolah swasta. Banyaknya  calon guru maka diperlukan seleksi yang baik dalam penerimaan, agar dapat memilih guru sesuai dengan kebutuhan dan kriteria yang ditentukan untuk menjadi seorang guru yang profesional. Dengan adanya seleksi yang ketat, maka para calon guru akan berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya agar dapat diterima dan lulus dalam uji  kompetensi tersebut. Jadi dengan uji kompetensi guru diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, professional, dan menyenangkan, sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran disekolahnya. Dan dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru dapat dilaksanakan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, putera daerah atau bukan putera daerah, adanya “perda” (pertalian darah) atau tidak, dan alasan-alasan subjektif lain yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).






Sekedar Hiburan