Jumat, 24 September 2010

APAKAH UJIAN NASIONAL TIDAK KONTRADIKTIF DENGAN KTSP?


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) seharusnya dibuat sesuai dengan kreativitas guru, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada satuan pendidikan tertentu. Dalam penyusunan KTSP guru/pengembang dibolehkan memasukan unsur muatan lokal. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan ujian nasional (UN). Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan.
KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula.
Kontradiksi antara KTSP dan UN, menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik.
Dalam KTSP hanya memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sangat berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antar sekolah yang berada dalam satu desa, baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang sama di seluruh Indonesia.
Dalam menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangat sulit. Oleh sebab itu, perlu mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN yang sejalan dengan KTSP.
Selain itu, UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Contohnya, sekolah di Kepulauan Riau, Kalimantan, Papua, dan daerah lain pada umumnya tentu memiliki perbedaan signifikan dari segi mutu bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta dan sekitar Jawa barat. Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentunya memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah.
Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. "Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya.
Sudah menjadi rahasia umum, akhir-akhir ini pendidikan keguruan di negeri ini seakan akan tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien.
Akhirnya apa yang terjadi? Sekolah hanya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.
Walaupun demikian, mulai tahun pelajaran 2007/2008 pemerintah melaksanakan Ujian Akhir Nasional (UAN) pada tingkat sekolah dasar yang disebut dengan istilah Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2007.
Dalam Permen No. 39/2007 disebutkan bahwa ujian akhir sekolah berstandar nasional adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madarsah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa (SD/MI/SDLB).

Tujuan dilaksanakannya UASBN ini adalah untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 Permen 39/2007. Kemudian dalam pasal 3 disebutkan lagi bahwa hasil UASBN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
  1. pemetaan mutu satuan pendidikan;
  2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
  3. penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
  4. dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Kalau kita perhatikan tujuan dari pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional ini memang sangat baik dan realistis. Tapi sebaliknya disana tergambar adanya kontradiktif dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagaimana kita ketahui bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dibuat sesuai dengan kreativitas guru, dan dikembangkan di tingkat sekolah/satuan pendidikan, serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Prinsip UN yang sentralistik, tentu akan  menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya.
Karena yang terjadi di lapangan adalah Ujian Nasional (UN) sering dijadikan sebagai taruhan besar oleh para guru dan lembaga pendidikan karena hasil ujian tersebut digunakan untuk menjadi penentu utama dalam menilai siswa, dan bahkan menjadi penentu utama untuk menetapkan apakah seorang siswa lulus atau tidak. Selain itu hasil ujian nasional tersebut dianggap sebagai pencitraan sebuah sekolah. Yang menjadi persoalan sekarang adalah seberapa pentingkah ujian nasional tersebut dilaksanakan ditingkat Sekolah Dasar? Apakah sebuah tes standar seperti UN kita bisa meningkatkan kualitas siswa dan kualitas pendidikan seperti yang selama ini digembar-gemborkan?
Kita setuju bahwa kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan. Tapi peningkatan kualitas tidak harus dilakukan dengan menerapkan sistem UN. Seperti dijelaskan di atas, berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005, dan Permen Diknas No. 39/2007 UN (UASBN) untuk siswa SD akan diberlakukan mulai tahun 2008. Sistem UN dengan hanya mengujikan tiga mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA) tidak bisa dijadikan sebagai ukuran bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Karena penilaian moralitas anak tidak diperhatikan. Padahal tujuan pendidikan di Indonesia bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Jadi secara psikologis sistem UN seperti itu tidak tepat untuk mengukur kelulusan siswa, lebih-lebih bagi siswa SD.
Menurut penulis kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional merupakan kebijakan yang perlu dikaji lebih jauh, karena:                                                          
Pertama, Ujian Nasional menimbulkan ketidakadilan bagi siswa. Siswa yang paling dirugikan adalah siswa yang bersekolah di sekolah yang berkualitas buruk, tidak memiliki guru yang layak mengajar, tidak memiliki fasilitas yang memadai baik buku pelajaran, perpustakan, maupun laboratorium. Padahal pemerintah sendiri mengakui bahwa sebagian besar sekolah kita masih berkualitas buruk. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa masih banyak sekolah di negara kita ini yang berkualitas buruk (minimnya sarana dan prasarana) Contohnya beberapa sekolah yang terletak di pulau-pulau terpencil Kepulauan Riau dan daerah-daerah pedalaman lainnya. Dengan situasi dan kondisi yang demikian apakah pantas disamakan dengan sekolah yang berada di kota-kota, apalagi kota-kota besar seperti di pulau Jawa. Jadi disini jelas bahwa UN tidak adil untuk para siswa dan guru di daerah terpencil (pedalaman).
Kedua, berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Ujian Nasional menyebabkan sekolah mengerahkan hampir semua sumber dayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN, bahkan siswa sekolah berstandar nasional pun harus ikut bimbingan belajar agar bisa lulus. Bahkan Ujian Nasional mendorong sekolah untuk menyusun kegiatan belajar mengajarnya menjadi sekedar untuk dapat lulus UN dan bukan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya apa yang tidak diujikan akan dinomor duakan. Guru-guru akan mengubah strategi mengajarnya agar dapat memenuhi tujuan kelulusan UN. Hal ini menyebabkan kualitas pengajaran mereka menjadi buruk karena mereka akhirnya hanya akan mengajar demi tercapainya ujuan UN tersebut. Sebagai contoh pada pengajaran bahasa (Indonesia ataupun Inggris) di kelas akhir SMP dan SMA tidak lagi dirancang agar siswa menguasai ketrampilan dalam berbicara, mendengar, membaca dan menulis, tapi diarahkan agar siswa dapat menjawab soal-soal dalam UN yang sama sekali tiak ada hubungannya dengan kebutuhan penguasaan bahasa itu sendiri. Pendidikan telah direduksi menjadi sekedar bimbingan tes agar dapat lulus UN.
Ketiga, Ujian Nasional akan menyebabkan meningkatnya drop-out. Sebagian besar siswa yang tidak lulus UN enggan kembali ke sekolah meneruskan pendidikannya. Jika UN SD ini juga akan menjadi penentu kelulusan maka bisa dipastikan akan banyak siswa yang tidak lulus tidak akan kembali ke bangku sekolah. Ini jelas akan mempengaruhi target pemerintah yang akan menuntaskan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan selama ini. Sebab dalam PP No. 19/2005 pasal 68 poin C disebutkan “Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan”. Dan pada pasal 72 poin C dipertegas lagi “Peserta didik dinyatakan lulus dari suatu pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah lulus ujian nasional”. Dan dalam pasal 3 Permen Diknas No. 39/2007 nyata disebutkan bahwa hasil UASBN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Keempat, Ujian Nasional memberikan gambaran kualitas pendidikan yang salah kepada publik. Masyarakat berhak tahu bagaimana kualitas sekolahnya. Hasil UN bukanlah representasi dari kualitas sekolah. Masyarakat akhirnya akan menilai kualitas sekolah hanya dari nilai UN yang diperoleh siswa sekolah tersebut. Ini jelas menyesatkan. Walaupun tes yang diberikan dalam UN hanyalah memotret sebagian kecil dari proses pendidikan yang begitu luas dan beragam, namun penilaian dan patokan yang diberikan masyarakat tetap pada hasil UN.
Dari beberapa pandangan yang dikemukakan di atas sebaiknya pemerintah mengkaji kembali Ujian Nasional untuk Sekolah Dasar karena UN mengabaikan unsur penilaian berupa proses. Dan menurut pandangan penulis, jika diperhatikan dari sisi yuridis sebenarnya pelaksanaan Ujian Nasional SD tidak sejalan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Misalnya dalam pasal 58 ayat (1) menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Tapi dalam kenyataannya Ujian Nasional telah merampas hak guru dalam melakukan penilaian di akhir sebuah jenjang pendidikan. Ujian Nasional telah mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses yang sebenarnya merupakan tugas pendidik/guru.         

Disamping itu, pendidikan jenjang SD hingga SMP merupakan satu paket Wajib Belajar Sembilan Tahun sehingga seharusnya tidak diperlukan istilah lulus ataupun tidak lulus di Sekolah Dasar. UAS/UN SD sebenarnya tidak perlu digelar. Ini karena penyelenggaraan UN SD justru bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur tentang wajib belajar sembilan tahun. Kalau Wajib Belajar Sembilan tahun itu SD-SMP, dan keduanya itu pendidikan dasar. Mengapa atau untuk apa di tengah-tengahnya harus ada ujian akhir sekolah yang berstandar nasional.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi apabila hasil UN SD digunakan sebagai alat seleksi untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pasti akan menuai masalah. Sebagaimana dalam PP No. 19 tahun 2005 pasal 68 poin b disebutkan   “Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya”. Hal ini senada dengan pasal 3 point b Permen Diknas No. 39/2007.
Dan apabila UASBN SD ini dijadikan alat pengukuran mutu, bukan sebagai alat seleksi, mengapa setiap siswa SD diwajibkan mengikutinya. Sebaiknyalah pada tahap awal UN tersebut diujicobakan pada sekolah-sekolah tertentu saja dengan menggunakan sistem sampling, setelah itu barulah pemerintah memikirkan bagaimana mempersiapkan anak-anak yang ada di pelosok untuk bisa mengikuti UN, termasuk membenahi manajemen sekolah, sarana dan prasarana serta kualitas guru. 
Selain kurang sejalan dengan UU Sisdiknas khususnya Wajar sembilan tahun, UN pada SD akan menyedot anggaran negara yang tidak sedikit. Karena jenjang pendidikan SD merupakan basis pendidikan dasar wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Akan lebih baik anggaran tersebut dialihkan untuk program yang lebih bermanfaat seperti renovasi gedung SD yang rusak dan bantuan buku pelajaran yang lebih banyak untuk SD.
Kita harus menyadari bahwa semua pihak sebaiknya juga mendukung usaha pemerintah untuk mendapatkan standardisasi pendidikan nasional. Hanya saja, perlu pembenahan-pembenahan terdahulu untuk sekolah-sekolah yang belum maju dan berada jauh dari sentra administrasi negara. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, adalah kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga.
Karena berbicara tentang mutu pendidikan, berbeda dengan pembicaraan mutu produk suatu industri. Dalam pendidikan dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. Mendorong semua sekolah di tanah air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak. Menurut hemat penulis, kebijakan UN perlu ditinjau ulang atau lebih disempurnakan lagi dalam pelaksanaannya, agar apa yang diinginkan dapat dicapai dengan baik dan tidak menimbulkan anak-anak bangsa ini sebagai korban kebijakan yang kurang tepat.
Demikianlah analisa penulis terhadap kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam implementasi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar. Penulis menyadari analisa ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan perbaikan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

IYA BETUL PAK, TAPI APA NAK DIKATA. ITU SEMUA KEBIJAKAN DARI ATAS.

Sekedar Hiburan