Kamis, 14 Oktober 2010

Pendidikan Kita Memerlukan Sebuah Inovasi


Untuk menjawab berbagai tantangan dan memecahkan berbagai per­masalahan dalam dunia pendidikan perlu adanya sesuatu yang baru yang dinamakan inovasi pendidikan. Jika inovasi itu dapat diterima dan diterapkan oleh para pelaksana kegiatan pendidikan, maka  akan sangat bermanfaat untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ada.
Sebagaimana yang ditulis dalam tulisan sebelumnya bahwa di Indonesia penyelenggaraan sistem pendidikan berjalan penuh dengan dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai PP yang dipersiapkan oleh pemerintah. Selain itu, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
Kita ketahui bersama bahwa berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Dan jika dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina, Indonesia masih jauh berada di bawah negara-negara tersebut. Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut diperlukan suatu inovasi atau pemikiran baru yang mendalam dan progresif. Pendekatan ini harus selalu didahului dengan penjelajahan yang mendahului percobaan, dan tidak boleh semata-mata atas dasar coba-coba.
Gagasan baru sebagai hasil pemikiran kembali haruslah mampu memecahkan persoalan yang tidak terpecahkan hanya dengan cara yang tradisional atau komersial. Gagasan dan pendekatan baru yang memenuhi ketentuan inilah yang dinamakan inovasi pendidikan. Inovasi dalam pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang (guru) atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil invensi atau discoveri, yang digunakan untuk mencapai tujuan penddikan atau memecahkan masalah pendidikan. Suatu inovasi akan benar-benar dapat  bermanfaat untuk memecahkan masalah pendidikan, jika inovasi itu dapat diterima dan diterapkan oleh para pelaksana kegiatan pendidikan (pendidik).
Inovasi dalam bidang pendidikan di Indonesia dapat dilahirkan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Berbagai usaha inovasi dibidang pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya dengan melaksanakan Sertifikasi Guru guna memenuhi tuntutan kesejahteraan guru yang diimbangi dengan kenerja dan kompetensinya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pemberlakuan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yakni sebuah inovasi kurikulum dengan cara pemberian otonomisasi kepada setiap satuan pendidikan agar dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri berdasarkan kondisi dan karakteristik lingkungan sekolahnya, dan mengacu pada standar nasional, serta kebijakan -kebijakan lainnya seperti pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah serta pengelolaan tenaga kependidikan. Namun berbagai usaha inovasi tersebut dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai permasalahan dan problematika yang perlu ditemukan solusi terbaik untuk mengatasinya. Beranjak dari permasalahan itu, maka dalam tulisan ini penulis mencoba membahas seputar permasalahan krusial yang berhubungan dengan pendidikan.
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan secara umum yang saat ini tengah berkembang diantaranya masalah kualitas (jumlah dan kualitas guru, kinerja dan kesejahteraan guru, dan proses pembelajaran yang konvensional), pengelolaan (mutu sumber daya manusia pengelola, keterbatasan anggaran), dan relevansi pendidikan (kurikulum).
Bertolak dari latar belakang di atas, maka dalam tulisan yang sederhana ini penulis mencoba membahas permasalahan yang berkaitan dengan tenaga kependidikan.
Dalam bab I pasal 1 ayat (5) Undang-undang Sisdiknas disebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan ayat (6) pendidik adalah tenaga kependidikan yang berimplikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpatisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Pasal 39 ayat (1) selanjutnya menjelaskan bahwa tugas dari tenaga kependidikan itu adalah melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 1, sedangkan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan, dan melaksanakan  proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi. Dilihat dari jabatannya, tenaga kependidikan ini dapat kita bedakan menjadi tiga jenis yakni tenaga struktural, tenaga fungsional dan tenaga teknis penyelenggaraan pendidikan.
Berbicara masalah mutu pendidikan jelas akan menyangkut pada kesuksesan pelaksanaan tugas tenaga kependidikan, baik yang berada di sekolah maupun yang berada di luar sekolah. Semua jenis tenaga kependidikan bukan guru ini justru sepatutnya berperan sebagai partner kerja guru, sehingga mutu pendidikan di sekolah dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Tenaga kependidikan di sekolah meliputi Tenaga Pendidik (Guru), Pengelola Satuan Pendidikan, Pustakawan, Laboran, dan Teknisi sumber belajar. Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus.
Pada umumnya permasalahan yang berhubungan dengan tenaga kependidikan diantaranya adalah ketidakmerataan distribusi tenaga pendidik (guru) dan rendahnya mutu dan kualifikasi serta kompetensi guru, terutama guru SD.
Permasalahan lain yang sering timbul pada umumnya terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan kepala sekolah dalam mengelola/memimpin sekolah, hal tersebut dikarenakan oleh gaya kepemimpinan yang masih feodalis, dan ini merupakan faktor kultural yang sangat sulit untuk diubah. Yang lebih ironis, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan inovasi pembelajaran di kelas dianggap sebagai tindakan yang aneh atau dalam istilah “nyeleneh”. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari proses rekruitmen yang tidak sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan, karena sistem pengangkatan selama ini tidak didasarkan pada kemampuan atau pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman menjadi guru. Bagaimana mungkin bisa mengharapkan kinerja kepala sekolah yang bermutu kalau proses awalnya saja sudah tidak beres.
Demikian pula dengan kinerja pengawas dalam arti prestasi, kontribusi yang dapat diberikan oleh pengawas dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan, tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan sehingga terjadilah berbagai permasalahan, misalnya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pengawas, ketidak percayaan terhadap kredibelitas pengawas, pribadi pengawas yang kurang baik dimata masyarakat karena pengawas itu sendiri tidak memiliki skill dalam profesinya, kurangnya penghargaan terhadap pengawas, serta tingkat kesadaran dan kematangan bawahan yang masih rendah.
Dari permasalahan yang dikemukakan di atas maka menurut penulis solusi  yang dapat dilakukan adalah meningkatkan perhatian Pemda untuk pemerataan guru, misalnya melalui mutasi dari sekolah-sekolah yang kelebihan guru ke sekolah yang kurang guru dan memprioritaskan penempatan guru-guru baru yang diangkat untuk sekolah yang masih kekurangan guru. Dan untuk menjamin mutu guru yang didapatkan sebaiknya Pemda bekerjasama dengan LPTK dalam rekrutmen guru (bukan asal-asalan dalam perekrutan guru).
Dalam meningkatkan mutu guru pada saat otonomi daerah mulai dijalankan, maka Pemda dituntut untuk mengambil peran untuk mendorong para guru untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan ke tingkat sarjana, dan mendorong guru untuk secara tepat waktu menyelesaikannya.
Selain itu pelaksanaan pendidikan yang baik memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas profesional yang tinggi, serta demokratis dalam proses pengambilan keputusan-keputusan men­dasar. Pada umumnya, kepala sekolah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai "manajer profesional", karena sistem pengangkatan selama ini tidak didasarkan pada kemampuan atau pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman menjadi guru. Hal ini disinyalir pula oleh laporan Bank Dunia (1999), bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan perse­kolahan di Indonesia adalah "kurang profesionalnya" para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan.
Sebagaimana kita ketahui kepala sekolah dan guru merupakan "the key person" keberhasilan pelaksanaan "pembelajar­an". Ia adalah orang yang diberi tanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan kurikulum untuk mewujudkan pembelajaran berkualitas sesuai visi, misi dan tujuan sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk memiliki visi dan wawasan yang luas tentang pembelajaran yang efektif serta kemampuan profesional yang memadai dalam bidang perencanaan, kepemimpinan, manjerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan kurikulum.
Dengan demikian, diperlukan perubahan sistem pengangkatan kepala sekolah/madrasah dari pengangkatan karena kepangkat­an dan pengalaman kerja sebagai guru atau karena kedekatan dengan pembuat kebijakan kepada pengangkatan berdasarkan kemampuan dan keterampilan secara profesional.
Begitu juga dengan pengawas, untuk mewujudkan pengawasan yang efektif terhadap satuan pendidikan sangat erat kaitannya dengan keberdayaan pengawas satuan pendidikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pemberdayaan merupakan kata kunci bila menginginkan pengawas satuan pendidikan berperan aktif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sering dikatakan bahwa kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan adalah ujung tombak dalam rangka memperbaiki proses dan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.   Sebagai solusi dalam pemberdayaan kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan, setidak-tidaknya dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan pengawas.                       
     Berbekal pengalaman sebagai guru, kepala sekolah dan setelah diangkat sebagai pengawas, pada dasarnya pengawas satuan pendidikan telah memiliki potensi yang dapat dikembangkan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Misalnya dengan mengikutsertakan pengawas pada berbagai kegiatan, seperti pelatihan, work shop, seminar, diskusi panel dan lain sebagainya,  serta menfasilitasi kegiatan-kegiatan pengawas satuan pendidikan dalam memecahkan berbagai permasalahan pendidikan.
2.  Peningkatan sarana kerja.
     Sarana kerja akan sangat membantu keterlaksanaan tugas kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan dalam melaksanakan tugas. Selain itu dengan sarana kerja yang dimiliki akan dapat diperolehnya informasi-informasi terkini tentang kebijakan pendidikan dan terdokumentasinya seluruh aspek permasalahan yang ditemukan dalam pengawasan serta terkumpulnya data yang akurat dari setiap satuan pendidikan.
3.  Memberikan kewenangan dan tanggung jawab.
     Sebenarnya kewenangan dan tanggung jawab pengawas satuan pendidikan dengan jelas diatur dalam SK Menpan No 118 Tahun 1996, Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 38 Tahun 1996 serta Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998. Namun sebaiknya pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan memberikan kewenangan dan tanggungjawab yang jelas pada pengawas, misalnya untuk melakukan suatu penataran, work shop dan sejenisnya idealnya dirumuskan secara bersama-sama antara pelaksana kegiatan dengan pengawas satuan pendidikan, begitu juga dalam   penilaian kinerja guru dan kepala sekolah, kebijakan mutasi serta promosi jabatan guru dan kepala sekolah.
4.  Meningkatkan kesejahteraan.
     Sudah sewajarnya kepala sekolah dan pengawas satuan  pendidikan memperoleh penghargaan berupa insentif sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Kondisi ini akan dapat memotivasi kerja mereka dalam melakukan pengawasan dan pembinaan pada satuan pendidikan. 

    Demikianlah sedikit argumentasi dari penulis dalam tulisan singkat ini, mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan kita bersama, agar pendidikan dimasa yang akan datang dapat lebih baik lagi.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kebanyakan dari kepsek hanya ABS (asal bapak senang), tak berani tampil beda untuk sebuah perubahan

Sekedar Hiburan